Menanggapi permasalahan karhutla yang berdampak kepada kabut asap yang mengancam kehidupan sosial saat ini, menurut hemat saya ada yang keliru dari paradigma penegakan hukum khususnya dalam penanganan karhutla. Jika kita hanya mengedepankan upaya represif melalui instrument hukum pidana dan hukum perdata.
Semestinya ada saluran hukum tegas yang bisa diambil yakni melalui hukum administrasi yang menurut hemat saya akan lebih ampuh. Sanksinya tegas melalui pencabutan izin terhadap perusahaan-perusahaan tersebut dan memberi hukuman ganti rugi.
Hal ini sangatlah memungkinkan dilakukan pemerintah mengingat instrument hukumnya jelas yakni Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Di samping itu, kita harus memahami bahwa adalah kesalahan dalam tata kelola perizinan, tata kelola laha, tata kelola hutan dan sebagainya. Sehingga hal ini masih saja tetap berlanjut mengingat kita lebih mengedepankan upaya represif ketimbang mencari solusi yang bersifat jangka panjang.
Selain itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini khususnya kebijakan yang dianggap sebagai langkah preventif juga tidak menunjukkan hasil. Cara tepat mengukurnya adalah membandingkan kejadian karhutla pada Tahun 2015 dan Tahun 2019 yang sama-sama menghadapi masa kemarau yang berkepanjangan.
Jika disebutkan pada tahun 2016-2018 tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan yang signifikan yaw ajar saja karena pada tahun tersebut memang tidak ada pemicuya yaknui kemarau berkepanjangan.
Jadi yang jelas, kita salah dalam paradigma penegakan hukum dalam persoalan karhutla ini, karena kita tidak ada upaya untuk menyelesaikan akar dari permasalahan pokok ini, kita masih menggunakan manajemen asap dan api, timbul kebarakan lalu dipadamkan tanpa menyelesaikan permasalahan pokok seperti yang dibahas sebelumnya
Discussion about this post