SWARANESIA.COM– Kabut asap di Jambi seolah menjadi ‘bencana’ tahunan. Persoalan asap seakan semakin sulit untuk diatasi. Maka warga Jambi hanya pasrah dengan kejadian kabut asap yang melanda hampir setiap tahun.
Catatan Swaranesia.com, kabut asap paling parah terjadi pada tahun 1998, lalu kabut asap menghilang dan kembali muncul 17 tahun kemudian tepatnya pada tahun 2015 dan kembali muncul lagi, empat tahun selanjutnya pada 2019 asap kembali muncul.
Direktur Walhi Jambi Rudiansyah menjelaskan pada tahun 1997-1998 terjadi kebakaran yang massif tapi respon atau mitigasi dari pemerintah tidak terjadi. Misalnya dari kebijakan hingga monitoring dan perbaikan tata kelola tidak ada.
Momen tahun 2015 kebakaran luar biasa, sehingga menyebabkan perhatian public hingga dunia pada kebakaran hutan ini.
Nah pemerintah dan dunia internasional memberikan respon dengan mendirikan badan untuk mengatasi sebuah badan yakni Badan Restorasi Gambut (BRG).
Dari adanya BRG ini diharapkan mampu mengatasi persoalan kebakaran hutan, namun dalam perjalnannya butuh modal dan support. Lantas BRG melakukan penawaran pada dunia internasional dengan menawarkan potensi hutan tropis yang dimiliki Indonesia. Sehingga terjadilah program perubahan iklim, salah satunya program deforestasi kebakaran hutan, diharapkan bisa menghentikan kebakaran hutan ini.
Namun sayangnya, apa yang diberikan dari pemerintah dan internasional ini tidak menyentuh persoalan sebenarnya. Seperti izin tata kelola perizinan gambut.
“Misalnya perusahaan sudah mendapatkan izin dari pemerintah, berapa izin dapat dia garap dan akan dimaksimalkan untuk produktifitas lahan perusahaan,” ujar Rudiansyah.
Rudi menyebutkan lahan gambut ini tidak bisa dilakukan seperti itu. Karena gambut satu hamparan. Namun karena perusahaan sudah mendapatkan izin dan memaksimalkan lahan. Karena mereka berlasan soal pajak dan modal operasional yang mereka keluarkan untuk menggarap lahan.
Dari konflik untuk komitmen dan munculah peta indikatif restorasi. Salah satu menjadi dasar restorasi menjadi dua. Dari peta indikatif versi kedua yang keluarkan BRG itu disebutkan, ada sekitar 200.772 hektar.
Lalu persoalan ini dibagi menjadi dua yakni pertam pasca kebakaran 2015-2017 dan kabut lindung berkanal. Nah dari jumlah 200.772 ini ternyata banyak Kawasan berizin.
Jika dibagi maka Kawasan berizin sebanyak 128.473 Ha, tidak berizin 25,885 ha dan Kawasan lindung 46.414 ha.
Jumlah lahan berizin ini ternyata membuat BRG tidak dapat bergerak. Karena jika dilihat dari tugas pokok dan fungsi hanya bisa merestorasi tidak berizin, sementara wilayah yang berizin itu menjadi tanggung jawab perusahaan.
“Maka BRG bisa klaim sudah melakukan restorasi 90 persen wilayah tak berizin, lalu bagaimana daerah yang memiliki izin yang tidak direstorasi, padahal daerah berizin ini paling banyak.”
Persoalannya masalah kebakaran ini ternyata terjadi di wilayah berizin. Artinya peraturan pemerintah tidak pengaruh apa-apa terhadap kebakaran hutan tadi.
“Alasannya mereka berizin jadi tidak bisa digarap pemerintah,” ujarnya.
Maka dari itu perlu ditekankan perusahaan harus mengikuti aturan itu, karena ini sudah menjadi mandat. Jika tidak, pemerintah bisa cabut izin tersebut.
“Di setiap pertemuan dengan pemerintah kami selalu sebutkan untuk cabut perusahaan yang tidak bertanggung jawab dan melanggar aturan,” ujar Rudi.
Dalam aturannya disebutkan undang-undang kehutanan nomor 41, undang-undang perkebunan dan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup nomor 32.
“Setiap usaha yang sudah mendapatkan izin maka dia harus bertanggung jawab, untuk memulihkan, menjaga dan melaksanakan tanggung jawab di wilayah tersebut, namun hal ini tidak terjadi bagi perusahaan tersebut,” ujarnya lagi.
Asap Bukan Bencana
Direktur Walhi Jambi Rudiansyah mengatakan jika dilihat dari siklus cuaca saat ini, memang sudah perubahan iklim terjadi. Dalam catatan perubahan iklim internasional disebutkan kenaikan suhu cuaca 0,9 – 1 derajat. Ini berbeda dengan target pemerintah yakni kenaikan suhu hingga 2 derajat, maka jika ini terjadi akan terjadi krisis ekologi yang luar biasa.
“ Apa faktor perubahan iklim? Itu terjadi karena masifnya perubahan cuaca secara deforestasi, jadi hutan alam dihabiskan dan dijadikan hutan tanaman industry (HTI) atau tanaman sawit,” ujar Rudi.
Persoalan kedua adanya penggunaan energi fosil, pengerukan minyak bumi dan batu bara terjadi terus menerus dan menyebabkan uap makin tinggi.
Sementara yang paling banyak oksigennya itu adalah wilayah gambut, tapi faktanya sekarang di Jambi dari 700 ribu sekian hektar, 70 persen itu telah dialih fungsi menjadi industry, maka berpotensi menyumbang perubahan iklim.
“ Jika tidak diantisipasi, dalam perbaikan tata kelola, perubahan iklim dan siklus suhu terjadi menjadi pemicu kebakaran lalu terjadi pembukaan lahan ,”
Maka untuk menghentikan perubahan iklim ini maka stop deforestasi perbaiki tata kelola perkebunan, sehingga pemulihan ini akan menyumbang penurunan derajat panas.
Pemerintah yang memberikan izin.
Rekomendasi diberikan dari pemerintah lokal yakni bupati hingga gubernur. Dalam hal ini pemerintah bisa bertindak tegas, jika ada perusahaan yang tidak bertanggung jawab maka bisa mencabut izin perusahaan tersebut.
“Pemerintah tak boleh mengelak dengan mengatakan itu izinya dari pusat, tapi pemerintah bisa mencabut dan merekomendasi pada pusat,” ujar Rudi.
Dia mengatakan dalam aturannya jika masih Izin Usaha Pertambangan (IUP) belum menjadi Hak Guna Usaha (HGU) maka ini wewenang bupati bisa mencabut izin tersebut. Lalu di lintas kabupaten wewenang gubernur. Namun jika sudah menjadi HGU maka rekomendasikan pada Menteri Agraria.
Sejak tahun 2015 pemerintah belum memberikan rekomendasi untuk mencabut izin perusahaan. Bahkan yang melakukan eksekusi adalah Menteri kehutanan dan lingkungan hidup.
“ Kenapa tidak dicabut, kepala daerah terlalu tidak tegas soal pengelolaan lingkungan hidup dan tidak punya perspektif lingkungan hidup dan pemerintah terlibat dalam hal ini,” ujarnya.
Menyumbang asap
Wilayah rawan kebakaran dan menyumbang asap adalah wilayah gambut, seperti Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi, dari tiga daerah ini yang paling masiv yakni Muaro jambi.
Ada tiga penyebabnya yakni industry kelapa sawit, industry HTI dan HPH yang tidak punya perencaan sehingga illegal loging terus terjadi.
“ Paling rusak parah Muaro Jambi,” katanya.