SWARANESIA.COM- Yusril Ihza Mahendra mengoreksi pendapat Menteri Dalam Negeri ( Mendagri) soal pemberhentian kepala daerah.
Yusril Ihza Mahendra dengan lengkap dan detail menjelasan kejanggalan-kejanggalan pendapat mendagri tersebut.
Menurut Yusril Ihza Mahendra upaya untuk Menegakkan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19 semuanya telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti PP No 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan yang lebih rendah oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta pejabat lainnya.
Jika merujuk dalam Landasan hukum Penerintah, kata Yusril, dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait Protokol Kesehatan itu adalah UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Pelaksanaannya di daerah mengacu kepada ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati atau Walikota berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf b UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda berkewajiban untuk melaksanakan semua peraturan perundang-undangan, termasuk semua peraturan perundang-undangan tentang Penegakkan Protokol Kesehatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 c Kepala Daerah dapat diberhentikan dengan alasan antara lain
“tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b” yakni tidak mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini, yang dimaksud Mendagri, adalah peraturan perundang-undangan terkait Pelaksanaan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19.
Lalu apakah Mendagri dapat memberhentikan kepala daerah?
Yusril menjelaskan pertanyaan selanjutnya yang perlu dijelaskan adalah apakah Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakkan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19?
“Jawabannya tentu saja tidak.”
Dalam Instruksi Presiden, Instruksi Menteri dan sejenisnya pada hakikatnya adalah perintah tertulis dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Saya mendraf RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk pertama kali tahun 2003 — yang menjadi UU No 10 Tahun 2004, kemudian diganti dengan UU No 12 Tahun 2011 dan telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019 — sudah tidak mencantumkan lagi Inpres sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan.
“Ini untuk mengakhiri keragu-raguan tentang status Inpres yang sangat banyak diterbitkan pada masa Presiden Suharto.”
Dijelaskannya, Bahwa di dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi. Namun proses pelaksanaan pemberhentian Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Sebagaimana kita maklum UU Pemerintahan Daerah sekarang menyerahkan pemilihan kepala daerah secara langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU di daerah. KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan mana sebagai pemenang dalam Pilkada. Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.” Ujar Yusril
Pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh Pemerintah. Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan Keputusan tentang Pengesahan Pasangan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dan melantiknya. Dengan demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan Bupati dan Walikota beserta wakilnya.
Semua proses pemberhentian Kepala Daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD. Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment).
Jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi Kepala Daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak. Untuk tegaknya keadilan, maka Kepala Daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri.
“Jadi, proses pemakzulan itu akan memakan waktu lama, mungkin setahun mungkin pula lebih. Apa yang jelas bagi kita adalah Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau “mencopot” Kepada Daerah karena Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD.” Katanya
Kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD dalam hal Kepala Daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Atau didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI. Kalau dakwaan tidak terbukti dan Kepala Daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya.