SWARANESIA.COM, Jakarta – Tsunami dan badai global bertubi-tubi menghantam planet bumi. Mulai dari perang dagang AS-China, proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), kisruh di berbagai kawasan dunia sampai memanasnya suhu politik sampai dalam negeri.
Namun, ada hal yang patut disyukuri, kinerja nilai tukar rupiah cukup stabil. Bahkan tetap tegak kokoh hingga mendekati penghujung 2019.
Data BI, pada 18 Desember 2019, Rupiah menguat 0,93 persen (ptp) dibandingkan dengan level November 2019 sehingga sejak awal tahun menguat 2,90 persen (ytd) menggunakan kurs tengah bank sentral. Di pasar spot sesuai data Reuters, per 20 Desember 2019 rupiah menguat 2,82 persen dari Rp 14.375/US$ ke Rp 13.970/US$. Kinerja rupiah ini menjadi salah satu the best perfomer currency diantara negara EM.
Tidak mungkin prestasi keren yang ditorehkan Rupiah untuk tahun ini tanpa adanya invisible hand yang terus menjaganya.
CNBC Indonesia mengkonfirmasi ke Nanang Hendarsah yang merupakan Direktur Eksekutif Operasi Moneter Bank Indonesa (BI).
Menurut Nanang, BI memang tidak pernah lengah untuk memastikan Rupiah tetap bergerak dalam fluktuasi yang manageable.
“Kami memantau dinamika global 24 jam dan merespon setiap tekanan sejak pembukaan pasar pukul 08.00 WIB,” ungkap Nanang kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/12/2019).
“Triple intervention melalui tiga kombinasi instrument tetap menjadi andalan dalam upaya menekan volatilitas kurs Rupiah,” imbuhnya.
Intervensi di Pasar Spot?
Untuk tahun ini peran intervensi melalui instrument Domestic Non-Delivery Forward (DNDF) dan stabilisasi di pasar SBN menjadi andalan. Lalu bagaimana intervensi di pasar spot?
“Sedangkan intervensi di pasar spot hanya untuk memastikan supply demand di pasar tetap berimbang (smoothing volatility) dalam kondisi kondisi tertentu saja,” paparnya.
Instrument DNDF, sambung Nanang, selain telah membantu sebagai instrument lindung nilai bagi korporasi dan investor asing di pasar SBN, juga membantu perbankan untuk memitigasi risiko kurs dalam mengelola Posisi Devisa Neto (PDN).
Hal ini menjadikan demand valas di pasar lebih terkelola (smoothing demand) terutama pada saat terjadi munculnya demand valas dalam jumlah cukup besar secara mendadak.
“Di mana perbankan dapat menyerapnya untuk sementara dengan menggunakan DNDF sebagai instrument lindung nilai terhadap fluktuasi kurs,” ungkap Nanang.
Operasi BI di pasar SBN juga sangat berperan dalam menjaga keseimbangan supply demand di pasar SBN terutama pada saat terjadi pelepasan SBN oleh investor asing, sehingga menurut Nanang bisa mencegah munculnya sell-off atau penjualan dalam skala besar yang bisa memicu rupiah melemah tajam karena terjadi konversi ke valas oleh investor asing.
“Bahkan ketika pelaku pasar melihat BI masuk pasar membeli SBN, umumnya pasat berbalik ikut membeli,” tegas Nanang.