MUNGKIN berlebihan jika disebutkan setiap seorang jurnalis keluar dari rumahnya, selalu diikuti dengan ancaman. Risiko pekerjaan yang berada di ring satu justru menyebabkan nyawa seorang jurnalis berada di kerongkongan. Bukan cerita baru, seorang jurnalis ditawan dan disandera untuk sebuah berita. Nyawa bahkan berada di ujung pistol barangkali akan menjadi berita bagi pembuat berita.
Tak hanya penuh dengan risiko, kehidupan seorang jurnalis juga dalam titik nadir. Mereka bekerja lebih dari 8 jam, setiap hari, tak peduli hari libur, hari besar dan tanggal merah. Mereka tetap “diperas” untuk bekerja dan memberikan berita pada perusahaan tempat mereka bekerja. Apa soal konpesasi? Tak usah bahas soal itu, karena itu akan mematikan api kompor yang mengepul di dapur.
Ya, soal gaji dan tunjangan yang mereka terima sangat jauh dari harapan. Bahkan ada yang perusahaan yang membayar gaji jauh dari upah minimum regional atau provinsi. Sama sekali tidak layak.
Begitu banyak deretan jurnalis yang ditangkap bahkan dibunuh karena berita atau memberikan informasi. Di antaranya adalah jurnalis Dandy Laksono dan Ananda Badudu
Dua jurnalis tersebut ditangkap di tengah malam perihal menyampai soal Papua, Cuitan tersebut dipublikasikan Dandhy lewat akun @Dandhy_Laksono pada 22 September. Berikut isinya:
JAYAPURA
Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.
WAMENA
Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.
Atas cuitan itu, Dandhy ditangkap pada hari Kamis (26/9) pukul 23.00 WIB di kediamannya. Kini, Dandhy diperbolehkan pulang meski masih berstatus tersangka. Dandhy ditangkap karena diduga melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 No.1 tahun 1946 tentang hukum pidana. (sumber detik.com)
Namun akhirnya sutradara film dokumenter Sexy Killers itu dilepaskan meski dalam status tersangka.
Selain itu jurnalis pernah berkarier menjadi wartawan di PT Tempo Inti Media Tbk. Ananda Badudu juga ditangkap. penjemputan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Ananda Badudu, Jumat (27/9) pagi. Ananda dijemput polisi terkait langkahnya menghimpun dana melalui aplikasi ‘Kita Bisa’ yang ditujukan untuk sejumlah aksi mahasiswa di gedung DPR.
“Saya dijemput Polda karena mentransfer sejumlah dana pada mahasiswa,” tulis akun twitter pribadi Ananda Badudu, Jumat (27/9).
Belum lagi kisah Wartawan Udin yang tewas dibunuh karena berita. Fuad Muhammad Syafruddin, atau yang akrab dipanggil Udin, meninggal tiga hari setelah seorang pria memukul kepalanya. Tanggal 16 Agustus sore, atau hari ini pada tahun 1996, Udin menghembuskan nafas terakhir dan menghadirkan tabir gelap upaya pengungkapan kasus itu. Udin diketahui dibunuh karena tulisan-tulisannya, yang mengkritik keras adanya dugaan transaksi jabatan, seorang petinggi militer dengan seorang anggota keluarga penguasa Orde Baru. (sumber voaindonesia.com)
Kerja-kerja jurnalis, di masa covid 19 inipun mereka tetap berjibaku bekerja dan mencari berita. Padahal kerja di masa ini sangatlah rentan tertular.
Rasa-rasanya tanpa jurnalis tak akan mungkin bisa meliput peristiwa covid 19 hingga ke makam para korban.
Adalah aliansi Jurnalis Independen telah mengeluarkan protocol covid 19 memiliki tujuan yang jelas dalam mencegah potensi penularan Covid-19 di kalangan jurnalis, termasuk orang-orang yang ada di dalam lembaga dan organisasi sampai perorangan yang menjadi rangkaian proses peliputan.
Tentu protokol ini harus diterapkan dengan berpegang teguh pada prinsip kebebasan pers dan hak atas informasi. Bukan alasan bagi narasumber untuk menyembunyikan informasi penting untuk publik.
Demikianlah
Kerja-kerja jurnalis yang melibatkan nurani itu, ada-ada saja yang memanfaatkan untuk kepentingan materi belaka. Mereka semata-mata mengejar rating dan iklan untuk menghidupi perusahaan, sementara wartawan yang bekerja di lapangan kadang tak mendapat konpensasi yang layak.
Dan pahitnya lagi, ketika menyampaikan berita gembira disebut-sebut sebagai bayaran, sementara jika memberitakan berita kritis disebut sebagai tendesius. (Andika Arnoldy)