Oleh : Ferdia Prakarsa, S.H
Perkawinan usia anak atau perkawinan dibawah umur masih marak di Indonesia. Meskipun pemerintah sudah menaikkan batas minimal usia pernikahan laki-laki dan perempuan tren perkawinan anak memang menurun, namun jumlahnya masih cukup mengkhawatirkan. Penerapan UU perkawinan yang baru rupanya belum begitu berpengaruh pada kasus perkawinan anak-anak. Hal ini tampak dari angka pemuda atau remaja yang usia kawin pertamanya dibawah 15 tahun adalah 2,66 persen. Adapun pemuda atau remaja yang usia kawin pertamanya antara 16 sampai 18 mencapai 20,89 persen. Dengan demikian dapat dikatakan kalau satu dari lima pemuda atau remaja Indonesia telah kawin di bawah batas usia minimal. Menurut National Socio–Economic Survey (2018), 1 dari 8 anak perempuan menikah dengan usia di bawah 18 tahun di Indonesia.
Merujuk pada data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, jumlah pengajuan permohonan dispensasi kawin pada anak melonjak pada tahun 2020 dari yang sebelumnya 24.856 menjadi 64.222. Kemudian pada 2021 pengajuan permohonan dispensasi sebanyak 62.119 tapi yang dikabulkan 61.449. Lalu pada 2022, permohonan yang diajukan sebesar 52.095 tapi yang disetujui 50.748 , hampir 95% permohonan dispensasi diterima oleh hakim. Artinya Indonesia menjadi salah satu wilayah yang darurat akan perkawinan anak.
Akibat-akibat perkawinan di bawah umur mencakupi pemisahan dari kelurga, isolasi serta kurangnya kebebasan untuk berinteraksi dengan teman– teman sebaya. Karena perkawinan anak– anak sering menyebabkan kehamilan usia dini, maka akses mereka ke pendidikan berkurang, yang selanjutnya mengakibatkan berkurangnya potensi penghasilan dan meningkatkan ketergantungan pada pasangan. Resiko anemia dan meningkatnya angka kejadian depresi Beresiko pada kematian usia dini, Semakin muda perempuan memiliki anak pertama semakin rentan terkena kanker serviks. Bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia dibawah 18 tahun rata-rata lebih kecil dan bayi dengan BBLR memiliki kemungkinan 5-30 kali lebih tinggi untuk meninggal. Kondisi rahim wanita yang masih terlalu dini dapat menyebabkan kandungan lemah dan sel telur masih belum sempurna sehingga kemungkinan anak akan lahir secara prematur maupun cacat. Banyaknya pernikahan usia muda berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian, Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai adanya gejolak emosi yang tidak stabil dan juga dikenal sebagai masa pencairan identitas diri. Kondisi jiwa yang tidak stabil akan berpengaruh pada hubungan suami istri, akan banyak konflik yang terjadi dan mengakibatkan perceraian jika masing-masing individu tidak dapat mengendalikan diri.
Bahwa terkait dengan perkawinan usia anak pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan yang tertuang dalam berbagai dokumen kebijakan pemerintah. RPJMN 2020 – 2024 menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. Sehingga pencegahan Perkawinan anak pun menjadi Prioritas Nasional, sesuai dengan arahan Presiden RI kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak untuk menangani permasalahan perkawinan anak yang kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sebagai upaya penjabaran arah kebijakan dan strategi RPJMN 2020-2024 ke dalam strategi yang implementatif, Pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA), STRANAS PPA diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para pemangku kepentingan dalam melakukan kolaborasi pencegahan terjadinya perkawinan anak. Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA) juga mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk mengambil tugas dan tanggung jawab antara untuk Berkomitmen mencegah perkawinan anak dengan mengalokasikan anggaran daerah dalam RPJMD, Menyediakan peraturan pencegahan perkawinan anak dan menguraikan peran serta tanggung jawab orang tua dalam perlindungan anak yang diturunkan ke SK/SE/MoU, Menjamin adanya kelembagaan dan layanan yang memadai untuk mencegah perkawinan usia anak, Menyediakan sistem rujukan di tingkat komunitas untuk mencegah perkawinan anak, Serta Menyediakan layanan bimbingan terpadu untuk calon pengantin (catin).
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan usia anak adalah perkawinan yang dilangsungkan pada usia dibawah kesesuai umum menurut aturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Sebelumnya menurut Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimum perkawinan sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 sebagai berikut : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Selanjut munculnya Undang –Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi perubahan usia minimum Perkawinan sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 sebagai berikut : “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Selain mengatur batas minimum usia pernikahan, Undang – Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang menetapkan perubahan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur permohonan dispensasi kawin dalam terjadi penyimpangan ketentuan umur minimum perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.
Terdapat Problematika Norma disini, Dalam hal membandingkan pasal 7 ayat 1 dan pasal 7 ayat 2 Undang –Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada satu aspek, pasal 7 ayat 1 tegas mengatur dengan mempersyaratkan batas usia minimal perkawinan yang diizinkan oleh negara, Seorang atau calon pasangan kawin yang belum mencapai batas usia tersebut (19 tahun) tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan. Adapun pokok pokok penting yang mendasari Norma pembatasan usia perkawinan anak sebagai falsafah dan semangat utama Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 ini adala sebagaimana yang termaktub dalam konsideran Undang -Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak”.
Namun pada Aspek yang lain pada pasal 7 ayat 2, negara memberikan pengecualian berupa Dispensasi kawin terhadap penyimpangan persyaratan ketentuan umur melalui Pengadilan dalam hal kondisi tertentu. Dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun, apabila ada alasan kepentingan mendesak. Namun ketentuan pasal 7 ayat 2 tersebut tidak memberikan penjelasan dan tafsir tentang kepentingan mendesak, sehingga dalam proses dispensasi kawin muncul berbagai alasan yang dianggap sebagai kepentingan mendesak menurut versinya masing-masing.
Pengaturan Norma Dispensasi Kawin ini tentu saja menimbulkan Inskonsistensi Norma dalam Undang – Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Norma Dispensasi kawin sebagai Norma pengecualian tentu saja tidak sejalan dengan maksud pengaturan Norma Pembatasan usia perkawinan yang ingin meminimalisir perkawinan usia anak, karena Norma Dispensasi perkawinan mengakomodasi dan memberikan celah hukum yang sah untuk menerobos Norma Pembatasan usia perkawinan tersebut. Sehingga Norma Pembatasan perkawinan yang menjadi Norma pokok dalam Undang Nomor 16 tahun 2019 berpotensi menjadi Norma yang mandul.
Perkembangan yang lebih menarik adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 ayat 2 huruf a sebagai berikut : “Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) a. perkawinan Anak;“ , dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.00O.0O0,00 (dua ratus juta rupiah). Hal ini menjadi menarik karena Perkawinan Anak adalah suatu Norma Pidana, yaitu Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Apabila Norma Pidana perkawinan anak kita hadapkan dengan Perkawinan Usia Anak yang telah mendapatkan Dispensasi Kawin dari Pengadilan, tentunya akan ada potensi Konflik Norma yang berdampak serius terhadap pelaku perkawinan usia anak, karena pelaku perkawinan anak dapat dipidana berdasarkan aturan tersebut. Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah terhadap potensi tidak efektifnya penegakan hukum Pidana perkawinan Anak sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, karena adanya Norma Dispensi Kawin tersebut. Tentu saja dampak dari Inkosistensi Norma Pembatasan Usia perkawinan dan Konflik Norma Pidana Perkawinan Anak terhadap Dispensasi Kawin adalah Timbulnya Ketidakpastian Hukum, Terjadinya Perbedaan Penafsiran dalam Penegakan hukumnya, Dan Disfungsi Hukum sebagai Pedoman perilaku serta Tertib social Masyarakat.
Akhirnya, Sebagai dampak logis dari Problematika Norma Perkawinan Usia Anak adalah munculnya pertanyaan kritis sebagai berikut : Seberapa besar Komitemen Pemerintah terhadap Pencegahan dan Penurunan Angka Perkawinan Usia Anak ?? Pertanyaan ini haruslah dimaknai dengan semangat review dan harmonisasi seluruh ketentuan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku, yang konsisten dengan Kebijakan Pencegahan dan Penurunan Angka Perkawinan Usia Anak.
*Penulis Adalah ADVOKAT & FOUNDER LAW INDEX OFFICE