Oleh : Wein Arifin*
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 membawa konsekuensi terhadap perubahan sistem Pemilu di Indonesia terutama terhadap aspek keserentakan.
Pemohon perkara adalah Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang tercatat dalam buku registrasi pertara konstitusi pada tanggal 24 September 2019, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan MK pada tanggal 15 Oktober 2019.
Pokok permohonan terkait konstitusionalitas pasal-pasal-pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang pada pokoknya terkait dengan dimensi keserentakan Pemilu.
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, pelaksanaan Pilkada serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2024 dimana pada tahun yang sama juga dilaksanakan Pemilu untuk memilih DPR, DPD, Presiden & Wakil Presiden, serta DPRD. Disain keserentakan ini merupakan tindak lanjut yang diatur dalam UU 10 Tahun 2016 berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.
Dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah memberikan 5 (lima) pilihan model keserentakan Pemilihan Umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan hasil penelurusan kembali original intent pembahasan amandemen UUD 1945.
Pilihan disain keserentakan Pemilu berdasarkan putusan MK diatas menjadi menjadi kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bagi Pemerintah dan DPR dengan memepertimbangkan aspek implikasinya untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas.
Politik Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pemilu Tahun 2019 dan proyeksi keserentakan Pemilu dan Pilkada pada tahun yang sama pada tahun 2024 menjadi argumentasi bagi Perludem untuk mengajukan permohonan judicial review UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada terkait aspek “keserentakan” kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam memutus perkara ini, MK melakukan penelusuran terhadap original intent amandemen UUD 1945. Penelusuran dimaksud untuk melihat ide-ide yang dikemukan atau berkembang selama masa pembahasan amandemen UUD 1945 terutama berkenaan dengan Pemilihan Umum.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap original intent pemabahasan amandemen UUD 1945 terutama terkait pasal 6 ayat (2) dan pasal 22E ayat (2) ternyata ide-ide keserentakan Pemilu sudah dibahas dalam rapat-rapat PAH MPR waktu itu dengan berbagai pilihan keserentakan. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi MK untutk memutuskan piilhan keserentakan dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 adalah konstitusional.
Selain itu, berdasarkan hasil penelusursan original intent pembahasan amandemen UUD 1945, MK berpendapat bahwa pilihan aspek keserentakan dalam sistem Pemilu harus bermuara pada penguatan sistem presidensial sesuai kesepakatan pengubah UUD 1945.
Penguatan sistem presidensial dimaknai sebagai penguatan kedudukan dan kewenangan Presiden (eksektutif) dalam relasinya dengan DPR (legislatif). Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara dan lambang pemersatu bangsa.
Selain itu, dalam kerangka memperkuat sistem presidensial, penyederhanaan partai politik merupakan salah satu cara.
Bagi negara-negara yang sistem pemerintahan presidensialnya dibangun dengan sistem kepartaian majemuk (multipartai) yang tidak sederhana, penyederhanaan partai politik menjadi suatu keniscayaan. Bagaimanapun, telah menjadi pengetahuan umum, baik secara doktriner dan maupun pengalaman empiris, sistem pemerintahan presidensial menjadi sulit bekerja optimal di tengah model sistem multipartai dengan jumlah yang tidak terkendali.
Oleh karena itu, selalu dipersiapkan berbagai strategi (desain) untuk menyederhanakan jumlah partai politik terutama partai politik sebagai peserta Pemilu.
Secara teoritis, sejumlah hasil penelitian menujukkan bahwa pemilu serentak dianggap dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial karena dapat menjadikan jumlah partai politik lebih sederhana.
Selain itu, pelaksanaan Pemilu serentak antara pemilihan presiden dan wakil presiden dengan pemilihan anggota legislatif tidak terlepas dari penilaian pemilihan presiden dan wakil presiden dianggap memengaruhi pemilihan legislatif melalui coattails effect.
Pemilihan umum serentak tidak hanya berhasil menyederhanakan sistem kepartaian di lembaga perwakilan, tetapi juga berkecenderungan terbentuknya pemerintahan kongruen karena pemilih yang memilih presiden dari partai politik atau didukung oleh partai politik tertentu akan memiliki kecenderungan memilih anggota legislatif dari partai politik presiden atau partai politik yang mendukung presiden.
Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal
Saat ini Komisi II DPR RI sedang menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang masuk dalam Prolegnas Priorotas Tahun 2020. Konsep Pemilu Nasional diambil dan Pemilu Lokal sesuai dengan pertimbangan angka [3.16] Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, alternatif ke-4, yakni “Pemilihan Umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan Umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, Pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pilihan model ke-4 dari putusan MK yang dituangkan dalam RUU Pemilu setidaknya berdampak terhadap penguatan sistem pemerintahan presidensial. Kelemahan utama sistem presidensial dengan multipartai adalah Presiden terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas dari DPR (parlemen).
Kecenderungan paska Pemilihan Presiden & Wakil Presiden pemerintah dibentuk dengan semangat akomodatif terhadap partai politik dengan pertimbangan kekuatan kursi suatu partai politik di Parlemen.
Menyerentakkan Pemilu dan Pilres seperti yang sudah dilaksanakan pada Pemilu 2019, partai politik cenderung melakukan koalisi untuk dapat mengusung calon presiden berdasarkan Presidential Threshold. Koalisi ini dapat bersifat permanen karena dilakukan sebelum pemlihan legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden.
Penguatan sistem presidesial diatas dipahami sebagai pengautan sistem check and balances antara eksektutif dan legislatif. Lalu bagaimana dengan konteks sistem pemerintahan lokal/daerah? Dalam kerangka politik hukum di Indonesia, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung, serta tugas, fungsi, dan wewenang dari gubernur, bupati, dan walikota di dalam kerangka otonomi daerah, mengharuskan adanya irisan kepentingan dan kewenangan dalam fungsi cheks and balances dengan DPRD di daerah masing-masing.
Dalam konteks ini, hubungan dua lembaga, antara DRPD dan kepala daerah, tidaklah bisa dilepaskan dari proses pemilihannya, khususnya jadwal pelaksanaan pemilu serentaknya. Kenyatannya, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang tidak serentak dengan pemilihan DPRD, menghadirkan konfirgurasi politik berbeda-beda, serta membuat tidak efektifnya jalannya pemerintahan, dan ini tentu saja mempengaruhi kerja- erja penguatan sistem presidensil sekaligus efektiftas berjalannya otonomi daerah.
Adanya pembagian Pemilu nasional dan Pemilu lokal yaitu dimana Pemilu Lokal dilaksanakan 2 (dua) tahun setelah Pemilu Nasional. Pemilu Nasional bertujuan untuk membentuk pemerintahan tingkat nasional (DPR, DPD dan Presisen/Wakil Presiden) sementara Pemilu Lokal bertujuan untuk membentuk pemerintahan tingkat daerah (DPRD Prov/Kab/Kota dan Gubernur, Bupati, Walikota). Disain ini diyakni dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial dipusat dan sistem yang sama di pemerintahan daerah.
* Anggota Bawaslu Provinsi Jambi
Discussion about this post