By: FERDIA PRAKARSA, SH *
Politik senantiasa tersanding dengan narasi, bahkan politik adalah ‘untaian’ narasi tentang konflik rasionalitas tentang norma dan realitas keadilan, kepemimpinan dan kekuasaan dalam ruang sosial. Setiap narasi adalah perjuangan tekstual untuk membuat suatu subtansi diterima dan membuat suatu substansi yang lain ditolak atau setidaknya ditunda untuk diterima dalam ruang sosial.
Narasi adalah pewacanaan untuk memenangkan modal sosial berupa otoritas.
Hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Jambi tahun 2020 semakin memanas. Nama-nama yang disebut bakal bertarung mewarnai ruang percakapan public hampir setiap harinya.
Bakal calon kepala daerah yang saat ini bertarung memperebutkan dukungan partai politik sebagai syarat untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah Jambi 2020 melalui jalur partai politik. Namun, wacana yang berkembang belakangan ini hanya soal siapa berpasangan siapa melawan siapa.
Sementara nyaris tak terdengar ide dan gagasan yang ditawarkan untuk membawa jambi lebih baik ke depan, selain tagline kampanye para bakal calon kepala daerah yang berseliweran pada media baliho, spanduk dan banner diruang publik.
Belum terdengar “jualan” atau bahkan “perang” narasi dalam tahap penentuan calon kepala daerah ini, baik antar pasangan calon ataupun antar partai politik pengusung calon.
Padahal, Pemilihan kepala daerah sejatinya merupakan cara atau mekanisme yang dipilih bangsa Indonesia dalam berdemokrasi untuk mencapai cita-cita dan tujuan pembangunan daerah, yakni masyarakat yang sejahtera adil dan makmur.
Penguasaan narasi dalam kepimpinan daerah menunjukkan representasi formalitas kelembagaan kepala daerah yang akan tampak pada tanggung jawab, efek, kepengikutan, dan sensitivitas sikap empati.
Sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Pemerintah Daerah nomor 23 tahun 2014, Kepala daerah adalah salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tujuan umum untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terhadap statusnya sebagai penyelenggara pemerintah daerah, kepala daerah dibekali sejumlah wewenang administrative pemerintahan dan budget anggaran (APBD).
Luasnya tujuan umum penyelenggaraan pemerintah daerah dengan kewenangan kompleks yang dimiliki seorang kepala daerah tentulah memerlukan penguasaan narasi kuat sebagai salah satu kualitas dasar calon kepala daerah.
Penguasaan narasi tersebut menunjukkan bahwa seorang calon kepala telah layak dan siap bekerja. Kepala daerah dengan karakter penguasaan narasi mampu memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan spektakuler dalam mengelola daerah, dan tugas-tugasnya untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan masyarakat daerahnya.
Kepala daerah mampu mendesain manajemen pemerintahan daerahnya sedemikian rupa, sehingga para kepala dinas dan/atau pejabat setingkat kepala dinas, yang berada di bawah kontrol kekuasaannya, bisa dengan sukarela bersedia mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompok/parpol untuk kepentingan masyarakat daerahnya yang lebih luas.
Kepala daerah model ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan extra-ordinary terhadap daerahnya dengan jalan, reinvent (memperbaiki kembali) mental dan karakter bawahan, dan perbaikan kelembagaan secara menyeluruh; memulai proses penciptaan inovasi; meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai kedaerahan agar lebih baik dan lebih relevan; dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat dan mencoba untuk merealisasikan kemajuan daerah, yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.
Tentunya kita tidak berharap bahwa narasi hanya menjadi sekedar naskah visi dan misi pencalonan semata yang kosong ide dan gagasan pembangunan. Dalam logika politik, narasi harus dibangun di atas fondasi visi yang jelas, terukur dan bisa dieksekusi.
Selanjutnya bahwa narasi politik para bakal calon kepala daerah tersebut merupakan bagian yang tidak terpisah dari proses pendidikan politik yang menjadi kewajiban peserta pilkada (parpol & bacalon).
Karena dengan begitu masyarakat sebagai pemilih dapat memiliki informasi yang lengkap dalam rangka agregasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga artikulasi narasi dari para bakal calon kepala daerah menjadi relevan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat pemilih.
Seyogyanya moment ‘jual- beli’ narasi dalam kontestasi pilkada menjadi bagian edukasi politik yang integrative dan mencerdaskan. Sehingga menumbuh kesadaran dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat.
Dalam tahapan Pilkada Jambi saat ini, kondisi miskin narasi ini tidak terlepas dari perilaku elite politik yang hanya mengedepankan pragmatisme politik.
Elite tidak berupaya untuk mengedukasi pemilih mengenai narasi narasi politik sebagai dasar tujuan bakal calon kepala daerah memenangkan kontestasi pilkada. Elite politik hanya membangun narasi soal figur tanpa menyertakan mengenai gagasan dan program yang diusung. Potret narasi kampanye pada pilkada kali ini tak lain sebagai cerminan bagaimana pendidikan politik diselenggarakan selama ini.
Miskinnya “jual beli” politik narasi ruang percakapan politik belakangan ini merupakan bukti nyata bahwa pendidikan politik kita belum berhasil, baik di kalangan politikus maupun masyarakat umum.
Masih ada waktu untuk untuk peserta pilkada dengan fasilitasi dari para penyelenggara pemilu/pilkada jambi 2020 untuk meningkatkan ruang kampanye publik dengan narasi – narasi substantive dari para peserta pemilu baik bakal calon dan partai politik, sehingga masyarakat jambi sebagai pemilih memiliki pikiran – pikiran cerdas untuk pilihan – pilihan yang berkualitas.
*Penulis adalah Praktisi Hukum (Advokat) & Penggiat Politik