By: FERDIA PRAKARSA, SH
Arah politik dalam Pilgub Jambi saat ini kian dinamis dan belum tertebak ujung arahnya. Beberapa partai politik sudah menentukan dukungannya dan sebagian partai politik masih belum menentukan arah dukungan. Situasi tersebut mendorong para kandidat mulai gerilya untuk merebut dukungan partai. Terlihat perebutan antara kader internal serta calon luar yang berkemungkinan akan dijadikan kader. Beberapa kader parpol seperti Safrial dan Abdullah Sani sebagai kader PDI Perjuangan yang maju, Ratu Munawarah merupakan kader PAN, Fachrori Umar yang merupakan kader NasDem, 3 kader Golkar Sy Fasha, Cek Endra, Al Haris juga ingin merebut dukungan partai, AJB dari partai demokrat. Dalam situasi politik seperti yang telah dijelaskan diatas ada berbagai alternative situasi yang akan muncul, salah satu alternative yang paling mungkin dalam PILGUB JAMBI 2020 terjadi adalah partai politik mengusung kader partai lain dan sebaliknya kader parpol diusung partai lain karena tidak diusung partainya sendiri. Menarik membaca langkah “kuda” partai politik dalam proses pencalonan PILGUB JAMBI 2020 ini.
Kecenderungan partai politik dalam melakukan penjaringan atau rekrutmen calon-calon kepala daerah dalam pilkada langsung umumnya berlangsung pragmatis. Sebagaimana yang sudah-sudah, kecenderungan penonjolan peran figur juga dibaca partai politik dalam cara melakukan penjaringan nama-nama yang memiliki potensi menang besar. Figur yang memiliki potensi ini tidak harus berasal dari mereka yang memiliki latar belakang sebagai kader interal partai politik itu sendiri, tetapi juga dari kalangan eksternal partai. Dalam kerangka politik lokal, proses seleksi kandidat terletak pada rekam jejak seorang figur. Rekam jejak dan popularitas ini sangat menentukan dapat diterimanya seseorang oleh masyarakat. Elektabilitas ini bisa menjangkau lintas-kelompok, etnis, agama, dan seterusnya, karena hal-hal yang bersifat konsep dan ideologis telah diabaikan melalui kompromi. Selanjutnya Bahwa pertimbangan penentu dalam proses perekrutan kandidat dari orang luar adalah dari segi biaya. Hal ini karena keikutsertaan dalam pilkada membutuhkan biaya tidak sedikit. Kebutuhan dana menjadi inheren dalam pilkada.
Salah satu tugas dan fungsi partai politik adalah melakukan proses rekruitmen calon pemimpin daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang nomor 2 tahun 2008 sebagaimana perubahannya dalam Pasal 29 Undang – Undang nomor 2 tahun 2011 sebagai berikut “Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi anggota Partai Politik, bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, Dan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden”. Pada dasarnya, pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi meliputi segala aktivitas partai dari mulai penerimaan anggota, pembinaan kualitas kader, sampai dengan penempatan/penugasan kader-kader partai dalam jabatan-jabatan strategis. kader merupakan hasil dari pengkaderisasian yang diperoleh karena adanya rekrutmen politik. Kader di dalam suatu parpol menentukan dari daya jual partai politik di masyarakat. Jika pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi baik akan menghasilkan kader yang berkualitas dan berkapabilitas pula, begitu pun sebaliknya. Dihasilkannya kader kader yang berkualitas dan berkapabilitas tentu akan menyorot partai politik asal kader tersebut muncul. Jadi, kualitas kader-kader yang ada dalam partai politik sangat dipengaruhi oleh pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi partai tersebut.
Bisa dipahami bahwa upaya partai politik mencalonkan tokoh & kader partai politik lain menunjukkan bahwa partai politik sebagai sumber pemimpin nasional dan daerah belum optimal dalam melaksanakan kaderisasi dan rekrutmen yang baik . Langkah parpol yang mencalonkan tokoh parpol atau kader lain dalam hajatan politik tentu saja menjadi kerugian bagi parpol itu sendiri. Selain menutup rapat-rapat kader potensial yang melalui proses panjang dalam pengaderan, parpol juga hanya memiliki dukungan secara formal di pemerintahan daerah. Dengan kata lain, dukungan mereka tidak diikat secara ideologis seperti kader parpol karena mengabaikan loyalitas, padahal calon kepala daerah dari partai politik tertentu, maka ketika terpilih, ia akan mengejawatahkan visi dan misi partai politiknya. Dengan menjadi kader partai politik, diharapkan peran partai politik semakin kuat, sehingga demokrasi semakin sehat. Dengan tidak menjadi anggota partai politik calon kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada akan memperkuat fenomena politisi “kutu loncat” dan posisinya di pemerintahan daerah akan lemah
Selain kerugian bagi parpol itu sendiri, kepala daerah yang didukung tanpa melalui proses pengaderan berpotensi dikangkangi oleh partai. Konsekuensinya, mereka akan kesulitan menjalankan program kerja selama menjabat. Alih-alih menuntaskan janji politiknya, arah kepemimpinannya hanya diributkan dengan tarik-menarik politik dan saling jegal. Lagi-lagi, yang dirugikan tentu saja rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan politik.
Berdasarkan uraian di atas, partai politik tak bisa lagi diandalkan sebagai sumber rekrutmen pemimpinan nasional dan daerah karena dalam menjalankan peran dan fungsinya seperti rekrutmen politik dan proses kaderisasi, partai politik tidak mampu melakukannya secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur. Situasi tersebut seharusnya mendorong adanya upaya politik hukum penguatan kaderisasi dan recruitmen partai politik melalui revisi paket undang-undang partai politik. Salah isu penting revisi tersebut adalah syarat dan periodisasi keanggotaan partai politik menjadi factor filter (prasyarat) pencalonan kepala/wakil kepala daerah. Idealnya lembaga eksekutif adalah salah satu ruang distribusi kader bagi partai politik. bahwa keharusan calon kepala daerah menjadi anggota partai politik karena kekuasaan partai politik berada di legislatif dan eksekutif. Dengan demikian tidak ada kepala daerah yang tidak memiliki partai politik kecuali jika melalui jalur independen.
Dalam Konteks PILGUB JAMBI 2020, Partai politik harus melihat kontestasi ini bukan semata-mata masalah proyeksi kekuasaan; berapa jabatan kepala atau wakil kepala daerah yang akan diperoleh; berapa dana yang akan disetor oleh kepala daerah yang didukungnya untuk Pemilu yang akan dating. Maka partai politik seharusnya dapat melepaskan diri dari cara pandang miopis yang menjebak dalam persoalan yang begitu pragmatis dan sempit. Partai politik harus memperhatikan proses kaderisasi dan recruitmen sebagai basis sumber kepemimpinan daerah. Partai politik dijambi tidak boleh gagal menghasilkan dan mendukung kader internal yang memiliki kapasitas dan kapabiltas.
*Penulis merupakan (Advokat) Praktisi Hukum/Penggiat Politik