Ketika menikmati secangkir kopi di sebuah warung yang berada di gang sempit. Dari kejauhan terdengan suara bising mobil “voorijder”. Tentu sebagai rakyat bisa mengenali suara ini adalah suara mobil yang sedang membawa pejabat penting. Tepat di depan warung tersebut tampak mobil kawalan ini membawa pejabat nomor satu Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Melihat kejadian ini saya tiba-tiba teringat pada Gubernur fenomenal Jakarta bapak Joko Widodo—tahun 2013 beliau melarang bunyi “voorijder” yang ngang nging ngang nging itu untuk menerobos kemacetan. Bagi beliau, kerja-kerja-kerja Gubernur itu tidak perlu kelihatan gaduh, bekerjalah dengan iklas untuk kemajuan daerah dan rakyat. Bahkan disetiap kerjanya selalu menampakkan hasil signifikan di daerah yang dimimpinya. Misalnya, normalisasi sungai, waduk fluit dan banyak lagi.
Menurut Stoner (1995) ada tiga indikator penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, integritas. Kedua, kapasistas. Dan ketiga, otoritas. Ketiga unsur ini harus lah terpenuhi karena integritas berkaitan dengan kepribadian pemimpin itu sendiri. Sedangkan kapasistasnya haruslah bersesuaian antara ucapan dan tindakan. Begitu pula dengan otoritas, sikap ketegasan, kesederhanaan dan kepedulian terhadap masyarakat harus hadir dalam jabatan tersebut. Jika kriteria tersebut terpenuhi maka energi positif cepat menyebar kepada wilayah yang berada di bawah otoritasnya. Kenapa harus pendekatan ini? Studi-studi ilmu politik kebingunggan meletak asas kepemimpinan politik pada saat ini. Hal ini dikarenakan politik memiliki logikanya sendiri yaitu kepentingan. Sedangkan basis ideologi yang diharapkan menjadi mercusuar tergerus oleh perilaku politik transaksional. Atas dasar ini berbicara kepemimpinan politik harus merujuk kepada kepemimpinan manajerial. Jauh sebelumnya ada peninggalan khazanah ilmu yang diwarisi Ki Hahjar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” di depan memberi contoh, ditengah memberi semangat dan dibelakang memberi daya kekuatan.
Gubernur Bunyi-Bunyian?
Saya mengambil bahasa sederhana untuk merepresentasikan kepemimpinan Fahrori Umar selama menjabat sebagai Gubernur Jambi sejak 2019. Kenapa? Bunyinya gubernur, tetapi tindakan dan kebijakannya belum ada yang menyentuh sendi kehidupan masyarakat “populis”. Pertama, baru dilantik menjadi gubernur, beliau tidak menunjukkan arah perubahan Jambi. Bahkan akhir-akhir ini legislatif mempertanyakan kinerja beliau. Bahwa tidak terselengaranya agenda pemerintah daerah yang transparan “ada pemain yang memonopoli proyek daerah”. Saya menyebutnya sebagai “imposible Hand” tangan tak terlihat. Apakah ini adalah Queen of the King? Ratu dari sang-raja yang lebih berkuasa.
Jika ini benar, maka kedua, kepemimpinan Fahrori Umar lemah. Artinya indikator ketiga yang mengutamakan otoritas atau tindakan seorang pemimpin tidak mampu dilaksanakan. Dalam kata lain, hanya menjadi pemimpin seremonial “bunyi-bunyian’. Toh kita dapat menyaksikan agenda gubernur hanya meresmikan acara-acara seremonial dan belum terlihat agenda kerakyatan yang nyata menyentuh kehidupan masyarakat. Pun begitu dengan kondisi masyarakat saat ini. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2019 angka kemiskinan masih mencapai 7,60% atau sebanyak 274,32 ribu orang miskin di provinsi Jambi. Jika kita bandingkan dengan jumlah penduduk di Kabupaten Tanjab Timur sebanyak 226,527 jiwa (bkpsdmd: 2014), artinya masyarakat di provinsi Jambi satu kabupaten adalah miskin.
Terlepas dari persoalan di atas, ada satu kritikan penting yang harus di fahami yaitu visi dan Misi beliau semasa mencalonkan diri bersama Zumi Zola “Jambi Tuntas” Terwujudnya Provinsi Jambi Yang Tertib, Unggul, Nyaman, Tangguh, Adil dan Sejahtera 2021. Visi dan Misi merupakan eja wantah dari janji politik yang harus di noktahkan. Sayangnya, visi-misi ini telah berubah menjadi Jambi Berkah di baleho-baleho kampanye beliau sekarang, sedangkan kepemimpinan beliau masih belum tuntas lagi. Sebagai rakyat, kita patut mempertanyakan janji ini karena inkonsistensi beliau dalam memimpin.
Saya tutup dengan pantun negeri
Negeri Kerinci tanah tinggi
Bersemai padi beras payo
Wahai se-isi negeri
Mari kito butanyo ke tuan negeri
Penulis adalah Dosen Fisipol Unja, Pengamat Politik Jambi, Peneliti, Tinggal di Jambi.
Email: doriefendi@yahoo.com