SWARANESIA.COM, Jakarta – Anggota Komisi II DPR Sodik Mujahid mengatakan, masih ada sedikit perdebatan terkait judul Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara. Ada sejumlah opsi terhadal narasi judul RUU ibu kota negara, atau pemindahan ibu kota.
“Maka hampir disepakati namanya RUU ibu kota negara,” kata Sodik saat dihubungi, Kamis (19/12/2019).
Ia juga mengatakan, RUU ibu kota baru yang sudah masuk dalam prolegnas periotas 2020 itu akan mengatur tiga aspek. Salah satunya, mengatur tentang proses pemindahan ibu kota.
“Lalu ibu kota negara itu sendiri, dan eks ibu kota negara yang di Jakarta,” kata Sodik.
Pemerintah terus mematangkan rencana pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan pusat ibu kota baru berada di Puncak Sepaku.
Proses pembangunan ibu kota negara yang baru diperkirakan menelan biaya Rp466 triliun. Dari jumlah itu, porsi APBN mencapai Rp89,4 triliun atau sebesar 19,2 persen. Sisanya, mengandalkan KPBU sebesar Rp253,4 triliun atau 54,5 persen, swasta termasuk BUMN sebesar Rp123,2 triliun atau 26,4 persen.
Pemerintah juga menyiapkan Omnibus Law Ibu Kota Negara demi mengamandemen 54 aturan terkait pembangunan ibu kota baru. Di antaranya 14 undang-undang (UU), 43 peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres), dan peraturan menteri (Permen).
Belasan UU tersebut antara lain terkait kedudukan ibu kota baru, batas dan wilayah, bentuk dan susunan pemerintah, kawasan khusus pusat pemerintahan, penataan ruang, lingkungan hidup dan penanggulangan bencana.
Sebanyak 16 inventarisasi peraturan perundang-undangan yang harus dicabut di antaranya, UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Timur dan UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.