Kritik Gus Dur terhadap kinerja Kementerian Agama tentu harus disikapi dengan terbuka. Kementerian Agama di Indonesia, sebagai salah satu dari lima kementerian terbesar berdasarkan alokasi anggaran belanja negara, harus benar-benar mereformasi dirinya.
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang selalu menjadi perhatian peneliti sosial modern. Jumlah umat beragama, khususnya umat yang beragama Islam adalah yang paling besar populasinya di dunia. Menurut survei yang dilakukan lembaga survei Pew Research Center pada 2010, jumlah populasi umat Islam terbesar di dunia adalah Indonesia yang mencapai 12,7% dari keseluruhan umat Islam dunia. Urutan kedua adalah Pakistan, sebanyak 11,0%, diikuti India, 10,9%.
Populasi yang begitu besar tentu memunculkan berbagai persoalan kompleks yang harus dikelola dengan baik. Sejak berdirinya negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, persoalan umat beragama, terutama agama Islam adalah hal yang menjadi perhatian para pendiri bangsa. Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, adalah orang yang sangat paham betapa pentingnya mengelola aspirasi umat Islam bahkan sejak dia merintis pergerakan kemerdekaan. Walaupun gagasan besar kepemimpinan Sukarno berpijak pada ide-ide nasionalisme yang berakar dari pendidikan modern dan sekuler, dia tetap memberi ruang khusus dalam mengelola umat Islam yang merupakan mayoritas terbesar penduduk Indonesia. Salah satu warisan kebijakan Sukarno yang masih bertahan dan penting hingga saat ini adalah Kementerian Agama.
Kritik Gus Dur
Pascareformasi, di zaman kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dia pernah mengkritik kinerja Kementerian Agama. Gus Dur mengatakan bahwa Kementerian Agama lebih mirip seperti pasar. Semuanya ada kecuali agama itu sendiri. Kritik itu tentu membuat banyak pihak yang selama ini berada di lingkaran birokrasi Kementerian Agama, yang jumlah aparatnya paling besar di Indonesia, tidak nyaman. Gus Dur bahkan melangkah lebih jauh dengan mengemukakan ide untuk membubarkan kementerian yang dulu pernah dipimpin oleh ayahnya, Wachid Hasyim.
Pernyataan itu tentu sangat kontroversial. Berbagai pihak, terutama partai-partai politik yang membawa ideologi Islam sebagai jalan politiknya tentu sangat terganggu dengan kritik presiden. Akibatnya, iklim politik pun memanas dan akhirnya sejarah mencatat pemakzulan Gus Dur pada Juli 2001, walaupun baru dua tahun menjalankan tugas kepresidenannya.
Saat ini ketika periode reformasi telah berjalan dua dekade, kritik Gus Dur terhadap kinerja Kementerian Agama tentu harus disikapi dengan terbuka. Kementerian Agama di Indonesia, sebagai salah satu dari lima kementerian terbesar berdasarkan alokasi anggaran belanja negara harus benar-benar mereformasi dirinya agar bisa relevan terhadap berbagai perubahan zaman dan tidak dipandang sebagai bagian dari persoalan oleh mayoritas publik Indonesia yang telah berganti generasi.
Penyakit Korupsi
Sudah bukan rahasia jika citra Kementerian Agama di masyarakat hingga saat ini masih buruk. Masih segar di ingatan publik bahwa sejak reformasi 98, Kementerian Agama telah memunculkan empat kasus korupsi yang membuat upaya membersihkan kementerian ini di masa depan merupakan tantangan yang luar biasa berat.
Kasus yang pertama dikenal publik sebagai kasus Korupsi Dana Abadi Umat. Tidak tanggung-tanggung yang menjadi ditangkap adalah orang nomor satu di kementerian itu, yakni Said Agil Husin Al Munawwar, Menteri Agama pada era kepemimpinan Presiden Megawati.
Kasus kedua adalah kasus yang memilukan karena yang dikorupsi adalah dana pengadaan Kitab Alquran tahun 2011-2012. Kasus ini menyeret dua anggota DPR dari Banggar, seorang pengusaha pemasok barang dan jasa, dan seorang Direktur pada Ditjen Bimas islam. Kasus ini terjadi di masa kepemimpinan Suryadharma Ali.
Menteri Suryadharma Ali sendiri kemudian menjadi pelaku korupsi pada kasus ketiga yakni korupsi dana penyelenggaraan haji. Kasus keempat adalah kasus yang masih segar dalam ingatan publik karena terjadi beberapa hari menjelang pemilu 2019. Kasus yang terakhir ini menyeret Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuzy yang tertangkap tangan menerima gratifikasi dalam kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama. Kasus ini pula yang membuat Menteri Agama pada saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, berkali-kali dipanggil KPK sebagai saksi.
Catatan buruk Kementerian Agama dengan penyakit korupsi yang ada di dalamnya semakin diperburuk dengan catatan Badan Kepegawaian Negara pada 2018 yang melaporkan belasan pegawai negeri dari Kementerian Agama sebagai pelaku korupsi nomor dua terbanyak setelah Kementerian Perhubungan.
Tantangan Pembenahan
Data 2017 dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) menyebutkan bahwa Kementerian Agama adalah instansi pemerintah dengan jumlah pegawai negeri sipil terbesar di Indonesia. Jumlahnya mencapai 234.918 pegawai atau 5,27% dari 4,5 juta aparatur sipil negara. Data tambahan dari Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyebutkan bahwa di seluruh Indonesia terdapat 4.556 satuan kerja Kementerian Agama.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 adalah pijakan dasar untuk melakukan reformasi birokrasi. Di dalamnya disebutkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Undang-undang itu semakin dikuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025 yang mengatur kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah wajib melaksanakan reformasi birokrasi.
Dasar hukum reformasi birokrasi di atas adalah dasar hukum yang dikeluarkan semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Agama. Dalam peraturan ini teradpat dua ayat yang mewajibkan kementerian melaksanakan reformasi birokrasi. Tambahan dalam peraturan ini adalah penambahan mekanisme monitor dan evaluasi yang dilakukan secara berkala oleh Menteri Agama dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.
Tantangan ke depan adalah kerja berat bagaikan memulai pendakian di gunung yang belum pernah dijajaki puncaknya. Berdasarkan materi arahan reformasi birokrasi yang didapat dari situs Kementerian Agama ada delapan langkah yang harus segera dijalankan. Pertama, komitmen pemimpin yang kuat. Kedua, pelibatan seluruh pemangku kepentingan. Ketiga, pembentukan tim reformasi birokrasi. Keempat, menetapkan road map dalam 8 area perubahan. Kelima, menerapkan manajemen berbasis kinerja. Keenam, memberikan informasi upaya dan hasil secara berkala. Ketujuh, monitoring dan evaluasi. Dan kedelapan, menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi.