SWARANESIA.COM,JAKARTA- Berbagai macam saran disampaikan untuk mencegah meluasnya virus Covid 19 ini, mulai dari social distancing, lockdown, karantina wilayah serta darurat sipil.
Banyak daerah yang akan menerapkan tersebut seperti DKI Jakarta yang menerapkan karantina wilayah, lalu Tegal yang akan menerapkan Lockdown, namun terakhir pemerintah pusat, Presiden Joko Widodo akan menerapkan darurat sipil.
Namun apakah makna di balik semua istilah tersebut.
Social distancing
Social distancing adalah mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain dianggap mampu mengurangi kontak tatap muka langsungSaat menerapkan social distancing, lembaga otoritas kesehatan di negara bagian New South Wales (NSW Health), Australia, mengatakan, pergi ke kantor atau menggunakan transportasi umum masih diperbolehkan.
Namun, kita harus menjaga jarak setidaknya 1,5 meter dari orang lain, meski pakar kesehatan mengatakan hal ini tidak bisa diterapkan di segala situasi. Mereka yang memilih metode ini sebagai tindakan pencegahan juga perlu menghindari acara-acara sosial, seperti kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman, termasuk ke pesta pernikahan.
Lockdown
Lockdown adalah situasi yang melarang warga untuk masuk tempat atau tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya.
Lockdown ini pernah disarankan pemerintah Tegal yakni Kebijakan local lockdown dilakukan dengan menutup pusat keramaian dan membatasi akses keluar masuk di kota tersebut.
Menurut Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono, kebijakan itu dibuat untuk melindungi warga Kota Tegal dari paparan Virus Corona.
“Kebijakan ini dibuat untuk menjaga warga Tegal yang masih sehat dari paparan Virus Corona,” ujar Dedy, Selasa, 24 Maret 2020. Seperti dikutip dari liputan6.com
Karantina Wilayah
Karantina wilayah adalah penerapan karantina terhadap suatu daerah atau wilayah tertentu dalam rangka mencegah perpindahan orang, baik masuk maupun keluar wilayah tersebut, untuk tujuan tertentu yang mendesak.
Sementara dilansir dari Hukum Online, karantina wilayah merupakan pembatasan penduduk yang dilakukan guna mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Apabila suatu wilayah menerapkan aturan lockdown, maka pintu perbatasan akan dijaga ketat oleh anggota kepolisian untuk memastikan tak ada yang masuk ataupun keluar.
Makna Darurat Sipil
Pemerintah Indonesia pernah menetapkan keadaan darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara tahun 2000. Aceh pada tahun 2004 juga mengalami darurat sipil yang merupakan penurunan tingkat kewaspadaan dari status darurat militer.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie, dalam buku “Hukum Tata Negara Darurat” (2008) menjelaskan, keadaan darurat sipil merupakan keadaan yang tingkatan bahayanya paling rendah dibanding darurat militer atau keadaan perang. Karenanya, tidak diperlukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.
“Sekiranya anggota tentara atau pasukan militer diperlukan untuk mengatasi keadaan, kehadiran mereka hanya bersifat pembantu. Operasi penanggulangan keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil,” kata Jimly.
Dampak Status Darurat Sipil pada Warga Negara
Dikutip dari asumsi.co Status darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Ini terjadi jika presiden menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya.
Dalam keadaan darurat sipil, penguasa tertinggi adalah presiden atau panglima tertinggi angkatan perang.
Lalu, apa dampak yang akan ditimbulkan dari status darurat sipil?
Berdasarkan Pasal 18, Penguasa Darurat Sipil berhak membuat ketentuan yang membatasi pengadaan rapat umum, pertemuan umum, bahkan arak-arakan pun harus dilakukan dengan izin tertentu. Izin bisa diberikan secara penuh atau bersyarat.
Selain itu, penggunaan gedung-gedung, tempat kediaman dan lapangan juga dibatasi atau bahkan dilarang untuk sementara waktu. Keberadaan orang di luar rumah juga dibatasi. Pasal 20 bahkan membolehkan Penguasa Darurat Sipil untuk melakukan pemeriksaan badan dan pakaian tiap orang yang mengundang kecurigaan.
Darurat Sipil Mengatasi Pandemi, Apa Perlu?
Mengingat bahwa pandemi global COVID-19 adalah sebuah kondisi bencana penyakit, pemerintah sebetulnya memiliki dua payung hukum yang cukup memadai.
Pertama, UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU ini memberi dasar hukum bagi pemerintah untuk menetapkan status darurat kesehatan nasional. Misalnya, pasal 10 ayat (1) jelas menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Kedua, ada juga UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.Pasal 7 ayat (1) huruf c menjelaskan bahwa pemerintah pusat bisa menetapkan status dan tingkatan bencana pada skala nasional dan daerah. Bahkan, hak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memberi rekomendasi status keadaan darurat bencana juga dijamin oleh Pasal 1 angka 19.
Karena itu, status darurat sipil tidak benar-benar perlu dijadikan opsi.