Penulis :Recky Aprialmi,S.Pd.,M.Pd
(Pendidik SMA di Propinsi Jambi)
Masih ingat, ketika Menteri Nadiem Makarim meluncurkan program Merdeka Belajar. Salah satu sasarannya adalah penghapusan Ujian Nasional Berbasis Komputer dikenal istilah UNBK, kemudian diganti Asesmen Nasional yang disebut AN. Banyak nada sinis yang mengomentari kebijakan tersebut, hanya sebatas mengganti kulit saja. Akhirnya terbantahkan saat AN dilaksanakan. UNBK yang hanya melibatkan peserta didik dengan mengukur kemampuan kognitif beberapa mata pelajaran saja tergantikan dengan AN yang lebih holistic. AN mengukur kemampuan dasar peserta didik yakni literasi, numerasi dalam bentuk AKM (Asesmen Kompetensi Minimun), survey karakter dan lingkungan belajar. Pelaksanaan AN pun dilakukan secara massif melibatkan lebih dari 259 ribu sekolah di Indonesia, 3,1 juta pendidik serta kepala sekolah dan lebih dari 6,5 juta peserta didik sebagai sampel. Pertanyaan dari publik mengemuka untuk apa Asesmen Nasional ini? pertanyaan ini terjawab saat Menteri Nadiem Makariem meluncurkan produk ke 19 Merdeka belajar yaitu Platform Rapor Pendidikan.
Benar saja, tanggal 1 April 2022 Menristek Nadiem Makarim meluncurkan raport pendidikan yang bisa diakses dalam Platform Rapor Pendidikan berbasis web. Rapor pendidikan diambil dari pengolahan data informasi yang terintegrasi secara sistem bersifat tunggal. Dengan struktur output, proses dan input, sehingga menjadi profil pendidikan. Peluncuran platform raport pendidikan memberikan pesan telah terjadi perubahan paradigma evaluasi sistem Pendidikan, yakni lebih berorientasi dengan mutu, mudah serta jauh dari beban administratif namun hasilnya tidak bersifat menghakimi. Tapi lebih merefleksikan apa yang sudah dilakukan dari hasil yang telah dicapai. Merefleksikan berarti kita mengambil suatu tindakan untuk menilai, mengkaji diri sendiri berdasarkan prilaku maupun performa yang sudah dilakukan, sehingga kita diajak bercermin, melihat kembali berbagai hal yang telah terjadi. Ini pun kalau kita mau membuka diri sambil merendahkan diri untuk menerima secara nyata apa yang ditampilkan oleh raport Pendidikan, sekarang mari kita berefleksi sejenak.
Data profil yang ditampilkan dari raport pendidikan ada yang mengejutkan dan ada yang sudah ditebak hasilnya, misalnya kemampuan literasi dan numerasi peserta didik, secara Nasional masih dibawah kompetensi minimun, hal ini pun juga sudah tergambar dari hasil PISA. Namun jika dibiarkan berlarut-larut akan memberikan dampak secara langsung, salah satunya adalah penyebaran Hoax di tengah masyarakat, memiliki daya saing yang rendah dalam menghadapi zaman revolusi industry 4.0. kemampuan literasi dan numerasi peserta didik baru di level 1 sehingga perlu di intervensi secara khusus, untuk tingkat dasar saja memiliki persentase 18%. Salah satu solusi yang diberikan adalah perubahan pendekatan Mathematical Thinking menjadi Mathematical Mindsets, ini untuk numerasi. Terbukti selama ini pelatihan-pelatihan penguasaan soal matematika praktis tidak memberikan dampak signifikan bagi peserta didik. Literasi peserta didik pun baru sebatas mewajibkan untuk membaca buku, sehingga untuk mencapai level pengolahan informasi belum memadai.
Namun ada hal menarik dari hasil raport Pendidikan dan ini sungguh mengejutkan. yakni berkaitan dengan kualitas pembelajaran pada bagian struktur proses. Tren pembelajaran yang digembar gemborkan berorientasi peserta didik (student center learning), ternyata hasilnya berbanding terbalik dengan performa pada proses pembelajaran selama ini. Terlihat dari beberapa indikator, misalnya ekspetasi akademik bagi pendidik memiliki penilaian 79,6% namun bagi peserta didik hanya menilai 1,9%, untuk umpan balik konstruktif bagi pendidik 33,8% tapi bagi peserta didik hanya 0,9%. Untuk aktivitas interaktif bagi pendidik menilai mencapai 11,1% namun bagi peserta didik menilai hanya 0,1%. Seharusnya angka persentase ini berimbang. Data ini menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi antara pendidik dan peserta didik yang sangat kontras sekali, hal ini menunjukan kualitas pembelajaran yang berorientasi peserta didik selama ini masih rendah. Kenapa ini bisa terjadi ?.
Jawabannya terletak pada refleksi perbaikan dalam pembelajaran, hal ini terlihat dalam indeks refleksi guru pada bagian proses kualitas pembelajaran masih berkategori pasif, guru dalam proses pembelajaran hanya sekedar menyelesaikan tugas, inipun dilakukan secara berulang-ulang tanpa ada kegiatan reflektif. Terungkap dengan persentase kurang baiknya pada aktivasi kognitif mencapai 67%. Dari pemaparan data tersebut menjelaskan jika ingin pembelajaran yang berkualitas, maka pendidik perlu melakukan perbaikan pembelajaran atas praktik pengajarannya. Dalam buku yang ditulis Bakkenes dkk berjudul Teacher learning in the context of educational innovation menjelaskan, jika ingin mencapai pembelajaran yang berkualitas maka pendidik harus memiliki tiga variabel pendukung, yaitu :
- Aktivitas belajar guru. Dengan harapan guru meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sebagai pengajar dalam hal ini aktif mengikuti program pelatihan bersifat pengembangan profesional sistematis dan terstruktur. Dari hasil rapor Pendidikan, yang dibutuhkan oleh pendidik saat ini adalah manajemen kelas. Faktor dalam manajemen kelas yang harus dikuasai pendidik terdiri dari (1) Instruksi yang adaptif yakni praktik adaptasi pengajaran pendidik atas respon dan umpan balik terhadap kebutuhan belajar peserta didik, (2) Panduan pendidik yaitu penjelasan yang terstruktur terhadap materi serta pemberian contoh tentang cara menerapkannya (3) Aktivasi interaktif yaitu praktik pengajaran yang mendorong kolaborasi dan komunikasi antar peserta didik dalam konteks memaknai dan memahami materi pembelajaran.
- Aktivitas refleksi. Pendidik harus merefleksikan secara kritis praktik pengajarannya sendiri, Berfokus kepada efektivitas pembelajaran yang telah diterapkan untuk memfasilitasi pembelajaran peserta didik, efektivitas ini bisa dilihat dari bukti-bukti hasil pembelajaran beserta umpan balik dari peserta didik dan rekan sejawat. Aktivitas refleksi diharapkan memicu kesadaran pendidik untuk melakukan perubahan.
- Berani merubah cara mengajar. Pendidik dalam penggunaan cara atau pendekatan yang baru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, Bahasa kekiniannya adalah penerapan praktik inovatif. Harus dilakukan secara persistensi. Sikap persistensi ini mirip dengan growth mindset yang dicetuskan Profesor Carol S Dewck. yaitu sikap gigih yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan. Sebab jika pendidik gagal menerapkan praktik baik akan memberikan persepsi dalam menurunkan motivasi untuk mengubah cara mengajarnya. Maka disini growth mindset penting dimiliki oleh seorang pendidik. Pendidik yang memiliki growth mindset akan bertindak dalam menghadapi tantangan dengan pemahaman bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan sangat penting bagi pengembangan diri. Artinya tidak takut gagal tapi selalu mencoba yang lain.
Banyak sebenarnya variabel pendukung yang bisa menjadi referensi dalam merefleksikan untuk pembelajaran berkualitas jika kita mau bercermin dari data raport Pendidikan tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana secara stimultan kita mau melakukan perubahan. Begini, pendidik yang aktif belajar bisa jadi kompetensinya akan meningkat, tapi belum tentu akan berdampak terhadap peserta didik, terbukti dari data diatas menjelaskan terjadi perbedaan persepsi kualitas pembelajaran dari peserta didik kepada pendidik. Makanya butuh refleksi dari praktik kita sendiri dan butuh umpan balik serta memiliki keberanian untuk berubah, pendidik juga terus memonitor dampak perubahan tersebut, dalam perbaikan pendidik juga butuh orang lain untuk belajar dari pengalaman, inilah yang disebut kolaborasi dengan semangat jiwa gotong royong.
Bagaimana tindak lanjut dari hasil raport Pendidikan tersebut. Ibarat seorang peserta didik menerima hasil rapor lalu diberikan kepada orang tua, maka orang tua yang baik akan melakukan evaluasi demi kebaikan si anak, tentu sesuai dan berorientasi kebutuhan si anak. Begitu juga kita sebagai pihak yang terlibat dalam dunia Pendidikan, harus ada tindak lanjut.. Bagi sekolah, rapor Pendidikan bisa dijadikan sebagai asesmen awal untuk melihat kondisi peserta didik dan sekolah sehingga sekolah merancang standar kurikulum sesuai situasi dan kondisi, diharapkan tidak ada lagi kebiasaan copy paste dengan sekolah lain, namun bisa diadopsi sesuai kebutuhan. Sebab kurikulum merdeka belajar yang resmi diluncurkan memberikan ruang kreativitas untuk menyusun ulang standar kurikulum sekolah demi pembelajaran yang bermakna. Strategi yang dapat dilakukan adalah (1) Indentifikasi, sekolah melakukan pemetaan hasil rapor Pendidikan bersama-sama guru di sekolah (2) Refleksi, sekolah mencari dan indentifikasi akar persoalan bersama-sama dengan semangat membangun dan berubah (3) Benahi, Merencanakan dan merancang ide tindakan secara kolaboratif.
Tiga strategi tersebut diharapkan memberikan dampak berupa program yang dilaksanakan, ciri-ciri program berdampak pada kemajuan pembelajaran yang berkualitas antara lain; Pertama, memiliki karakter kontekstual, maksudnya sesuai dengan situasi, kondisi sekolah dan merupakan kebutuhan peserta didik, orang tua dan peserta didik merasa terlibat dalam kemajuan sekolah. Kedua, segala sesuatu dilakukan secara kolaboratif, maksudnya terdapat kerjasama antar guru, kerjasama guru dengan kepala sekolah, kerjasama dengan pengawas, orang tua peserta didik, masyarakat dan dinas Pendidikan. Ketiga, melibatkan peserta didik, artinya sekolah memberikan ruang kepada peserta didik untuk bersuara memilih sesuatu sesuai kebutuhannya dalam perancangan kegiatan, inilah disebut merdeka belajar. Intinya apapun bentuk dan hasil raport Pendidikan, akan bermanfaat jika dipakai dan akan terlihat jika sudah dilaksanakan, maka jangan ragu untuk melakukan refleksi jika ingin proses pembelajaran berkualitas demi terwujudnya Pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat Merdeka Belajar ! .