Dion Ginanto*
Beberapa hari ini media sosial dibanjiri dengan berita 17 T, laptop merah putih, dan kritik tentang pengadaaan laptop untuk siswa. Karena penasaran, saya membuka TV dan menonton berita. Benar saja, salah satu TV swasta tengah mengupas dan membahas polemik pengadaan laptop untuk siswa dalam program digitalisasi sekolah dengan harga fantastis. Sebagai seorang akademisi dan praktisi pendidikan, saya memaknainya dari dua aspek yang berbeda. Secara niatan, tentu program ini patut diacungi jempol karena mempunyai semangat untuk memajukan kualitas pendidikan di tanah air. Namun, program ini juga perlu dikritisi, karena selain belum dirasa perlu, program ini tentu tidak sejalan dengan program refocusing untuk penanganan COVID-19.
Program Digitalisasi Sekolah
Program digitalisasi sekolah adalah program yang diprakarsai oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam upayanya meningkatkan dan mempercepat pemutakhiran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sekolah (Kompas, 2021). Digitalisasi sekolah diharapkan dapat menunjang kelancaran proses belajar mengajar di tengah pandemik yang hingga kini belum berakhir. Tentu, pembelajaran daring akan seterusnya dilaksanakan atau dikombinasikan meskipun Covid-19 nantinya dapat dikendalikan. Program digitalisasisi mengusung semangat merubah materi pembelajaran, perangkat pengajaran, evaluasi pembelajaran, dan laporan pengajaran yang selama ini dalam bentuk hardcopy, menjadi softcopy.
Bukan hanya itu, pemerintah juga akan menyiapkan fasilitas untuk mendukung kegiatan pembelajaran online seperti laptop, projector, scanner dan printer. Untuk mendukung program ini, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp. 17 T.
Pengadaan Laptop untuk Siswa, Apakah Sudah Perlu?
“Laptop yang dibeli oleh pemerintah untuk murid speknya Rp. 3 juta, dibandrol Rp. 10 juta. “sensor” untug 7 juta dikali 177 ribu laptop.”
“apakah ada yang percaya harga laptop ini Rp. 10.000.000 dengan spesifikasi ini? Perkiraan ini di bawah 5jutaan, luar biasa para #sensor terang benderang merampok uang rakyat, hanya #sensor kasta rendah yang gak tahu harga laptop.”
“kalau spek segitu masih di bawah 4jutaan harganya.”
Begitulah sebagian postingan-postingan di media sosial menanggapi rencana pemerintah untuk pengadaan laptop yang dibandrol Rp. 10 juta per siswa. Dalam kondisi serba susah seperti saat ini, tentu membuat anggaran fantastis untuk pembelian laptop adalah program yang terkesan berlebihan. Laman kompas (2021) memberitakan bahwa pemerintah menganggarkan Rp 2,4 triliun untuk pengadaan laptop pelajar buatan dalam negeri sebanyak 240.000 unit di tahun 2021. Perangkat laptop tersebut dilaporkan mempunyai spesifikasi: tipe prosesor core: 2, frekuensi: > 1,1 GHz, Cache: 1 M; Memori standar terpasang: 4 GB DDR4; Hard drive: 32 GB (kompas, 2021), harga 10 T sangat kemahalan (Kompas, 2021). Sayapun mengamini bahwa dengan spesifikasi laptop seperti ini, harga 10 juta dapat dibilang mengada-ada.
Namun pemerintah mempunyai alasan tersendiri dengan anggaran tersebut. Spesifikasi laptop menurut M. Samsuri, kepala biro perencanaan Kemendikbudristek, adalah standar minimum laptop. Pemerintah daerah diberikan kebebasan jika ingin membeli dengan spesifikasi melebihi standar minimum di atas. Selian itu, untuk harga, misalnya jika ternyata harga di e-catalog hanya Rp. 5,8 juta per unit, pemda diperbolehkan belanja dengan harga tersebut, asalkan harganya tidak melebihi Rp. 10 juta. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan range harga dan spesifikasi computer seperti ini rentan dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan?
Pemerintah tentu harus dapat menjelaskan mekanisme ini dengan jelas dan akuntabel, agar nantinya tidak terjadi fitnah dan prasangka buruk dari rakyat pembayar pajak. Penjelasan akuntabel tentu diharapkan dapat menghindari proses mark-up dalam pengadaan laptop untuk digitalsisasi sekolah tersebut.
Polemik pengadaan laptop untuk siswa bukan hanya terjadi terhadap harga versus spesifikasi; namun juga pada permasalahan kesiapan sekolah dalam menerima infrasturktur dari pemerintah. Program pemberian laptop pada siswa di sekolah terkesan terburu-buru tanpa ada kajian matang sebelumnya. Pengadaan laptop untuk pembelajaran tentu membutuhkan koneksi internet dan koneksi listrik. Faktanya, masih banyak sekolah di negara kita yang belum dialiri listrik dan internet.
Jika sekolah tidak ada jaringan internet sama sekali, bagaimana siswa dan guru dapat memanfaatkan laptop? Tidak mungkin tentunya laptop hanya digunakan untuk main game saja? Plus, bagaimana mungkin laptop bisa menyala jika jaringan listrik di sekolah tidak ada?
CNN Indonesia (2021) mengutip data dari Kemendikbudristek per 2 Juni 2020, ada 8.522 sekolah belum teralirkan listrik, dan 45.159 sekolah tidak memiliki akses internet. Bayangkan, ada 45.159 sekolah yang benar-benar tidak mempunyai akses pada internet, jika program ini dipaksakan maka, akan ada proyek pemerintah yang tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran.
Ok, katakana sekolah sudah ada listrik dan jaringan internet. Lalu apakah pemerintah sudah mempersiapkan learning management system (LMS) sebagai platform pemberlajaran dan pengajaran? Atau apakah pemerintah sudah menyiapkan secara detail resources-resources online yang dapat menunjang pembelajaran? Apakah pemerintah menyiapkan model-model pembelajaran online yang dapat diadaptasi guru? Apakah pemerintah telah menyiapkan metode pengajaran dan evaluasi terhadap aspek spiritual dan sikap siswa, yang menjadi kendala bagi guru ketika mengajar online? Apakah pemerintah sudah menyiapkan sistem evaluasi secara pendidikan dan pengajaran secara online? Jika ini belum tersistem dan tersiapkan dengan baik, maka jangan harap hibah laptop untuk digitalisasi pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Ok. Katakan pemerintah bergerak cepat dan sudah menyiapkan LMS dan resources pembelajaran, apakah kemudian guru-guru sudah siap mengajar dengan sistem digital? Apakah guru-guru sudah terbiasa mengajar dengan menggunakan LMS? Apakah guru sudah terbiasa bertemu tatap muka secara virtual secara baik dan konsisten? Apakah guru-guru sudah siap dengan metode, strategi, dan pendekatan pengajaran sistem daring? Laporan dari Pustekom Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan saja, ada 60% guru yang masih gagap teknologi (gaptek) yang menyebabkan mereka tidak dapat mengajar online secara efektif. Bukan hanya itu, Syaiful Huda, komisi X DPR RI dalam paparannya di televisi swasta dan media cetak, memaparkan bahwa efektifitas pendidikan jarak jauh (PJJ) hanya 30% saja.
Seharusnya, sebelum menyiapkan bantuan laptop, pemerintah seyogyanya mempersiapkan terlebih dahulu ekosistem pendidkan dan pembelajaran seperti guru sebagai pelaksana, LMS sebagai sistem pengajaran, dan infrasutruktur listrik dan internet sebagai sarana penunjang. Baru kemudian, pemerintah dapat memberikan bantuan laptop atau tablet. Sehingga ketika penggunanaya siap, sistemnya siap, dan fasilitas pendukung-pun sudah siap, laptop dapat dinyalakan dan digunakan dengan baik.
Paradoks Kebijakan Pendidikan di Era Mas Menteri
Program digitalsiasai sekolah ini tentu menjadi paradoks bagi kebijakan yang digawangi oleh Mas Menteri itu sendiri. Di media masa, Mas Nadiem sering mengutarakan bahwa tatap muka adalah wajib untuk mengatasi “learning loss” atau kampanye tentang sisi negative jika tidak ada pembelajaran tatap muka. Mas Nadiem pula yang kerap kali berkampanye untuk segera memulai pembelajaran tatap muka meski terbatas. Lalu, apa gunanya digitalisasi sekolah jika tatap muka menjadi prasayarat untuk menghindari learning loss?
Mengapa pemerintah tidak mencari formula, agar meski pemberlajaran online, namun tidak terjadi learning loss. Mengapa pemerintah tidak mencarai strategi agar di tengah Covid-19 prestasi pendidikan di Indonesia dapat melejit?
Sekali lagi, program mas Menteri tentang digitalisasi pendidikan tentu berbanding terbalik dengan kampanye mas menteri sendiri untuk memulai pembelajaran tatap muka demi menghindari ketertinggalan pendidikan. Kalau memang Mas Menteri menginginkan pembelajaran tatap muka, mengapa tidak mengalihkan dana tersebut untuk program yang mendukung kesehatan dan kesiapan tatap muka? Mengapa tidak menggunakan dana tersebut untuk membayar tenaga-tenaga terdidik untuk terjun ke area terdepan dan terluar demi mengajar ke rumah-rumah, karena mereka terkendala internet dan listrik untuk PJJ?
Semoga pemerintah dapat dengan jelas menyampaikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat pembayar pajak, agar dana 17 T tersebut tidak terbuang sia-sia. Penjelasan yang gamblang tentu diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat tentang pemerintah yang terkesan hanya merubah nama disetiap program kerja baru, namun esensisnya tetap sama: sebagai contoh dulu ada program RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), lalu menjadi sekolah Rujukan, kini berubah lagi sebagai Sekolah Penggerak.
Akhirnya, jika pemerintah telah berhasil menyalurkan laptop untuk siswa sampai tahun 2024, laptop tersebut disimpan di sekolah atau boleh di bawa ke rumah? Jika disimpan di sekolah, berarti tidak ada pembelajaran online? Jika laptop boleh dibawa ke rumah, apakah semua siswa mendapatkan laptop? Apakah semua siswa kebagian jatah pinjam laptop? Apakah kemudian, siswa di bawah kementrian agama semisal siswa madrasah, juga akan mendapatkan laptop? Jika tidak, apakah ini bukannya malah dapat melahirkan bentuk diskriminasi baru dalam dunia pendidikan?
*Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Dan Direktur Batanghari Foundation
Discussion about this post