Oleh : Dr. Nuraida Fitri Habi, S.Ag, M.Ag*
Jambi – Kenapa kuota ketewakilan 30 % perempuan dalam pemilu harus ada ? Bukankah keterwakilan gender bisa dilakukan secara alamiah ? Mengapa menjadi keharusan yang membuat partai politik menjadi kesulitan mencari perempuan untuk dicalonkan. Mungkin inilah gambaran Preferensi sebagian publik akan keterwakilan perempuan.
Sesungguhnya, masih terdapat banyak hambatan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Antara lain, hambatan psikologis, budaya patriaki, daya saing, regulasi, kaderisasi, hingga upaya pemberdayaan, selain itu perempuan tidak hanya harus mendapatkan dukungan dari partai politik, tetapi juga dari seluruh elemen masyarakat.
Pertanyaan tentang keterwakilan 30 % perempuan ini menarik dijawab. Karena walau bagaimanapun pemberlakukan kuota pencalonan perempuan minimal 30% sangat berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu di Indonesia.
Untuk itu aturan keterlibatan perempuan bisa didorong, ditingkatkan dan diberdayakan, meski belum optimal. Intinya dengan afirmative action 30% keterwakilan perempuan di parlemen, menunjukkan bahwa UU telah menghadirkan perempuan dalam politik.
Bagi partai politik aturan ini memaksa, karena terdapat mekanisme diskualifikasi sebagai peserta pemilu jika kepengurusan ditingkat pusat perempuan tidak memenuhi kuota 30%. Aturan ini nampaknya mampu memaksa partai politik untuk memenuhi kuota minimal 30% perempuan tersebut.
Secara prinsipil ada empat alasan mengapa kuota perempuan dalam pemilu penting. Pertama, menuntut prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan, ke dua, menawarkan model peran keberhasian politisi perempuan. Tiga, mengidentifikasi kepentingan-kepentingan khusus perempuan yang tidak terlihat. Empat, Menekankan adanya perbedaan hubungan perempuan dengan politik, sekaligus menunjukkan kehadirannya dalam meningkatkan kualitas perpolitikan.
Upaya Go Politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik (Crafting Democracy) tapi juga bagaimana representasi politik perempuan mampu memperluas basis konstituen (broadening base).
Dalam upaya ini affirmative action penting untuk membangun strategi politik perempuan. Baik dalam penyertaan atau melibatkan perempuan dalam politik formal dengan mendorong keikutsertaan perempuan dalam partai politik, organisasi–organisasi.
Selain itu aturan ini berguna untuk menata ulang struktur politik sehingga lebih terbuka pada ketegasan gender dan menjadikan perempuan untuk memiliki peran kunci dalam politik. Salah satu penekanan dalam strategi ini adalah mengutamakan ranah privat dan daily politics.
Itu baru alasan kenapa keterwakilan perempuan di politik penting, lalu ada juga beberapa alasan mengapa keterwakilan perempuan di parlemen penting.
Alasan ini merujuk data, sejak Pemilu 2009 sampai dengan Pemilu 2019, terjadi tren peningkatan angka pencalonan perempuan. Pada Pemilu 2009, terdapat 31,8% perempuan yang terdaftar sebagai calon anggota DPR.
Kemudian, pada Pemilu 2014 dari 12 partai politik peserta pemilu terdapat 2.061 orang atau 37,4%. Sedangkan pada Pemilu 2019, tercatat sebanyak 3.200 orang atau 40% dari total keseluruhan calon anggota DPR adalah perempuan. Namun, meski secara pencalonan tinggi, nyatanya pada pemilu 2019 sendiri hanya terdapat 20,5 % dari 575 anggota DPR.
Salah satunya adalah The political of presence, dalam bentuk kuota berdasarkan gender, etnis dan ras, demi menjamin kesetaraan penuh bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Lalu ada The political ideas, situasi dimana wakil politik mampu mampu menghadirkan ide atau gagasan dari orang yang diwakilinya. Sebagai seorang wakil perempuan di parlemen, sudah sepatutnya para wakil tersebut mampu menyuarakan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan.
Wakil politik sudah seharusnya memiliki pengalaman dan kepentingan yang sama dengan yang diwakilinya. Untuk itu perwakilan perempuan dalam lembaga pemerintah seperti parlemen menjadi penting keberadaannya dalam rangka memproduksi kebijakan-kebijakan yang berbasiskan pada pengalaman dan kebutuhan perempuan.
Suara perempuan khususnya dalam memperjuangkan dan menunjukkan nilai-nilai, prioritas dan karakter khas perempuan baru bisa diperhatikan dalam kehidupan publik apabila suaranya mencapai minimal 30-35 persen. Untuk itu jumlah anggota legislatif perempuan di parlemen menjadi sangat penting.
Dalam usaha ini Pemerintah perlu terus mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan di dalam pada tahun 2024. Hal itu mengingat bahwa faktanya, sejak pemilihan umum (pemilu) 2004 lalu, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen terutama DPR RI masih belum mencapai 30%.
Data Inter Parliamentary Union, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen berada pada peringkat keenam dibanding negara-negara Asean. Sedangkan, pada tingkat dunia, posisi Indonesia di peringkat ke-89 dari 168 negara di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.
Untuk mewujudkan ketertinggalan dan pencapaian target tersebut, pemerintah perlu merefleksikan agenda pembangunan global yang menekankan pentingnya kesetaraan gender. Yaitu dengan memberi kesempatan yang sama untuk kepemimpinan perempuan di setiap tingkat pengambilan keputusan, khususnya di bidang politik pada tingkat daerah maupun nasional dengan menginisiasi grand design roadmap 30% keterwakilan.
Dalam hal ini tentu saja penting dituntut peranan partai politik (parpol) di dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen 2024. Parpol sangat berpengaruh dan diharapkan memberi ruang bagi penguatan kebijakan dan strategi afirmasi dengan menempatkan perempuan pada posisi tertinggi di masing-masing partai.
Misal komitmen parpol khususnya pada daerah pemilihan (dapil) agar menempatkan calon legislatif perempuan di nomor urut 1 (satu). Penggunaan sistem baik terbuka ataupun tertutup harus mempertimbangkan keterwakilan perempuan.
Perlu ada ruang hukum yang seluas-luasnya agar tercipta kesempatan yang sama. Mendobrak budaya patriaki adalah tugas kita semua, bukan hanya tugas perempuan.
Selain itu, revisi UU Pemilu juga perlu untuk dikawal guna memastikan keterwakilan menjadi satu titik tekan agar membawa efek domino dari kebijakan afirmatif lainnya.
Tiga kata kunci, optimaliasai kewenangan yang dimiliki, jalani dengan optimal peta jalan ada, kolaborasi dengan optimal oleh semua pihak baik oleh Kementerian dan Lembaga, Parpol, KPPI, pemda dan Organisasi Masyarakat dan Sosial.
Sesungguhnya upaya meningkatkan keterwakilan perempuan tidak mudah. Perlu sinergitas serta komitmen yang kuat dari pemerintah, parpol, maupun dari perempuan itu sendiri agar mau terus berusaha menjadi perempuan berdaya saing.
* Koordinator Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Provinsi Jambi dan Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi.