Oleh : Ferdia Prakarsa, S.H
*Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi perbincangan menarik hari hari ini. Desas desus tersebut menguat usai Presiden Prabowo Subianto menyinggung sistem politik di Indonesia yang dinilai mahal dan tak efisien bila dibandingkan dengan negara tetangga.
Usulan ini didasarkan terhadap sejumlah alasan, seperti efisiensi biaya, pengurangan potensi konflik horizontal, dan peningkatan efektivitas pemerintahan. Isu ini sebetulnya sudah bergulir pada pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi. Dalam perkembangannya, Norma pengaturan kepala daerah secara langsung dipilih oleh rakyat sebenarnya masih terbilang belum lama.
Pasca kemerdekaan hingga berakhir Orde Baru pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, pilkada dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD. Kebijakan itu berubah setelah reformasi dan terbitnya undang-undang tentang otonomi daerah dengan Pilkada langsung oleh rakyat. Rencana mengembalikan pilkada ke tangan DPRD juga pernah mencuat di pengujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014. DPR melakukan revisi kilat UU Pilkada dengan mengembalikan kewenangan DPRD memilih kepala daerah, Namun Presiden SBY kala itu mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU Pilkada tersebut.
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang cukup mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu substansi materi perubahan UUD 1945 terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Frase “dipilih secara demokratis” memunculkan perdebatan karena terdapat perbedaan pendapat yaitu: Pertama, pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung; dan kedua, pemilihan kepala daerah dapat dilakukan oleh DPRD.
Apabila dicermati risalah persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara yang diberi wewenang merumuskan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 ditemukan, para pembentuk konstitusi atau undang-undang dasar memang sepakat bahwa pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilakukan dengan demokratis.
Selain itu, juga terdapat keinginan dari pembentuk undang-undang dasar untuk memberikan kesempatan kepada pembuat undang-undang mengatur pemilihan kepala daerah lebih lanjut sesuai dengan situasi dan kondisi keragaman daerah, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip demokratis.
Penggunaan konsep Frase “Demokratis” secara menurut penulis haruslah dimaknai berkaitan dengan pembahasan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut bahwa terdapat daerah-daerah yang memiliki proses pemilihannya khusus yaitu pemilihan di Yogyakarta, Jakarta, Papua, dan Aceh.
Pemaknaannya digunakan kata demokratis untuk menghormati metode pemilihan kepala daerah berdasarkan prinsip otonomi khusus. Tidak dapat dimaknai hal yang umum dipilih secara langsung itu diganti dalam konsep metode pemilihan melalui DPRD.
Karena satu sisi itu tidak sesuai dengan semangat reformasi konstitusi yang bicara soal otonomi daerah yang seluas-luasnya.Secara filosofis, munculnya gagasan tentang pilkada secara langsung pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah-daerah yang sedang dimulai. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang kredibel dengan dukungan penuh dan langsung oleh masyarakat.
Pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi local.
Dari perspektif kedaulatan rakyat, pilkada secara langsung merupakan perwujudan bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat di daerah. Dalam hal ini rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpinnya secara langsung, bebas, rahasia, tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Kritik tajam terhadap wacana pengembalian Pilkada ke DPRD ini adalah salah satu bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia, hal ini diduga kuat sebagai awal rusaknya kelembagaan demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi, yang menyebabkan proses pemilihan kepala akan menjadi sentralistik dan sangat menguntungkan bagi partai-partai besar saja.
Secara politik, muncul potensi akan hilangnya hak politik warga masyarakat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung. Dalam kurun dua (2) dekade terakhir banyak pemimpin daerah baik yang lahir karena dipilih langsung oleh rakyat. Karena melalui pilkada langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelintir elite di DPRD.
Meski pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien, Namun pemimpin yang diputuskan dari mekanisme pemilihan DPRD hanya berbasis terhadap kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat.
Dalam hal pelaksanaan pilkada langsung saja (yang dipilih oleh rakyat) masih terdapat perbedaan suara keputusan pencalonan antara elite pengurus partai dengan konstituen partai. ada faktor determinan dari partai politik untuk menentukan kepala daerah, Jadi memperkuat posisi posisi tawar partai politik dan mengurangi posisi tawar masyarakat.
Pelaksanaan pilkada melalui DPRD juga tidak menjamin sama sekali adanya pemilihan yang bebas dari praktik politik transaksional, Akan tetapi Hanya pindah ruang saja dari rakyat ke para wakil rakyat. Alih-alih menurun, peredaran money politics justru bisa semakin besar di kalangan para elite.
Lemahnya Integritas parpol, serta pengawasan dan penegakan hukum money politik dalam pilkada adalah pokok persoalan politik transaksional yang tidak dapat dikaitkan dengan metode pemilihan kepala daerah, sehingga alasan tersebut menjadi tidak relevan.
Efisiensi pembiayaan penyelenggaran pilkada dapat dilakukan misalnya seperti mengurangi pembiayaan perjalanan dinas untuk penyelenggara atau rapat rutin yang dilakukan dalam periode pilkada tersebut. Dana yang telah diefisiensikan tersebut diharapkan dapat diarahkan lebih banyak untuk pengawasan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di tempat masing-masing.
Mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD sejatinya menjauhkan hakikat kepentingan rakyat yang berdaulat. Budaya Feodalisme dan korupsi politik memang sulit dibuktikan langsung secara empiris. Sebab sedemikian banyak lapisan dan aktor yang bermain di ruang gelap kekuasaan dan kewenangan politik tanpa transparansi dan akuntabilitas.
Yang diperlukan sejatinya bukanlah kajian terkait demokrasi, melainkan Perubahan mendasar secara serius dan menyeluruh terhadap budaya feodalisme dan korupsi politik dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia.
*Advokat dan Founder LAW INDEX OFFICE di-JAMBI