Meski Pucuk ditutup pada 2014 lalu, namun namanya masih teringang-ngiang hingga kini. Lalu apa aktivitas eks lokalisasi pucuk setelah 9 tahun ditutup. Tak kalah penting apakah usaha penutupan pucuk sebagai bentuk minimalisir pelacuran efektif?
***
Sama seperti saya, anda pasti juga penasaran apa yang terjadi dengan bekas lokalisasi pelacuran legend bernama pucuk yang ada di Jambi pasca resmi ditutup hampir 10 tahun yang lalu. Karena sejak masa jayanya pucuk hingga resmi ditutup saya mungkin juga anda belum pernah mampir ke sini.
Wisata birahi yang juga kerap disebut Payo Sigadung ini sempat ngetop pada tahun 90 an itu boleh di sandingkan dengan Gang Dolly di Jawa Timur atau lokalisasi Saritem di Jawa Barat. Kini keduanya bernasib sama dengan Pucuk yang juga ditutup.
Sepintas Sejarah
Payo Sigadung atau biasa disebut Pucuk menjadi yang terbesar dan tertua di Jambi. Menurut salah satu sejarawan Jambi, Junaedi T Noor, lokalisasi Pucuk sudah ada sejak dekade 1970-an
Berdasarkan data Jumlah PSK di lokalisasi Payo Sidagung berbanyak 270 orang, data Liputan 6 Pagi SCTV, Kamis (28/8/2014), lokalisasi seluas 2 hektar yang dihuni oleh sekitar 500 pekerja seks komersil (PSK) yang sekarang entah kemana.
Dulu di lokalisasi Pucuk juga banyak terjadi tragedi, mulai dari tewasnya pria hidung belang berjabatan kepala desa, pengusaha, pegawai negeri, dll, diduga karena minum obat kuat sebelum indehoy dengan penghuni sana. Di sini juga tercatat banyak kasus narkoba, senjata tajam, dan kasus kriminal lainnya
Observasi
Beberapa waktu lalu saya mencoba untuk menelusuri kawasan pucuk yang berada di belakang kuburan cina kecamatan Telanaipura Kota Jambi.
Lokasinya tidak terlalu jauh, Tempat ini hanya berjarak sekitar 3 kilometer saja dari Kantor Gubernur Jambi, mungkin sekitar 5 kilometer dari Kantor Wali Kota Jambi. Lokasi administratifnya berada di Kelurahan Rawasari, jika berada di simpang tiga setelah melewati SMA N 5 Kota Jambi, maka akan bertemu dengan traffic light, langsung saja ambil jalur kanan. Tak jauh sekira 200 meter pas di seberang pintu keluar pom bensin, ada jalan, namun ke arah jalan tersebut. Lurus saja sampai menemui kantor UPCA, ambil jalur kanan dan terus saja lalui jalanan aspal. Nah, ketika berjumpa rumah papan bertingkat artinya sudah tiba di bekas lokalisasi pucuk.
Jika diamati, kawasan ini sangat sepi. Tak seperti tempat hiburan malam semestinya, hanya seperti perkampungan biasa saja. Terlihat ibu-ibu dan anak-anak. Mereka beraktivitas seperti biasa. Apalagi di sana juga ada warung sarapan pagi. Jadi bisa dipastikan tak ada lagi lokalisasi seperti dulu.
Sepinya eks lokalisasi pucuk ini juga disebabkan maraknya aplikasi online yang banyak digemari.
Jalan di lokalisasi Pucuk terdiri dari gang-gang. Gang utama bisa dilalui kendaraan roda empat dan gang kecil hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Semua gang didereti rumah berisikan PSK. Rumah di gang utama biasanya lebih megah dan mampu menampung banyak anggota. Berbeda dengan rumah-rumah yang ada di gang kecil , ada yang permanen dan semi permanen.
Lantas saya mencoba untuk berhenti di warung tersebut dan mencoba mengamati apa yang terjadi di pucuk ini.
Benar, cuma seperti perkampungan biasa, hanya orang-orang lalu lalang dengan kendaraan dan warga setempat yang duduk biasa.
Kata sebagian orang pucuk ini masih ada aktivitas pelacuran, bisa “main” di sana seperti dulu sebelum ditutup. Namun saat itu saya belum menemukan benar-benar yang mencurigakan. Misalnya pasangan pria dan wanita yang keluar dari sebuah rumah, atau kumpulan orang yang sedang bermain kartu. Tak ada.
Namun rasanya juga terlalu cepat kalau mengatakan tempat ini benar-benar bersih dari unsur pelacuran. Perlu banyak waktu untuk membuktikannya, dengan terus berada di sana dan menemukan keganjilan itu.
Ada satu hal yang cukup menarik perhatian, kumpulan perempuan yang duduk di halaman depan rumah kayu. Mereka berbincang seru dan di selingi denga tertawa.
Sekitar empat orang perempuan berpakaian minim berbincang-bincang. Setelah beberapa lama kemudian, satu dari mereka dijemput oleh ojek online. Tak tau apakah itu bagian dari aktivitas pelacuran atau bukan.
” Tak ada lagi yang begitu bang, ” Ujar penjual di sebuah warung bekas lokalisasi itu.
” Kalau mau ada nomor kontak ni bang, ” Katanya menawarkan.
Pria penjual di warung itu meyakinkan tak ada lagi yang mau melakukan aksi pelacuran di sini. Karena orang lebih nyaman dilakukan di tempat lain. Ya, seperti hotel dan lainnya.
” Para cewek-cewek juga banyak yang pindah,”
Sejarah Ditutup
Senin 13 Oktober 2014 Walikota Jambi Syarif Fasha resmi menutup lokalisasi pucuk.
Wali Kota Jambi, Sy Fasha beralasan penutupan pucuk ini berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No. 42 Tahun 2014. Selain itu menurutnya lokalisasi itu sangat berbahaya karena menyasar para pemula yang ingin mengenal seks
Walikota Jambi, SY Fasha dengan tegas kembali mengatakan tetap akan melakukan penutupan tempat maksiat tersebut. Alasan utama penutupan pucuk adalah mengingat moral. Karena, moral bangsa rusak, salah satunya tempat maksiat tersebut.
Rencana penutupan lokalisasi pucuk ini ternyata mendapatkan gejolak dari warga setempat, karena dinilai pemerintah telah menghilangkan pekerjaan bagi warga lokalisasi.
Berbagai reaksi muncul dari warga lokalisasi atas penutupan pucuk tersebut, dengan melakukan unjuk rasa hingga ancaman demontrasi bugil di depan kantor walikota Jambi.
Namun ancaman itu tidak membuat gentar pemerintah hingga akhirnya penutupan pucuk itu benar-benar dilakukan.
Selain Payo Sigadung dan Langit Biru, Fasha juga menjelaskan akan melakukan penindakan terhadap hotel-hotel berbintang dan kost-kostan. Tidak hanya melakukan razia saja, melainkan penertiban dan penutupan. Meski sulit untuk mengetahui keberadaan prostitusi di hotel berbintang, tentu melalui sosialisasi dan juga penempelan Surat Edaran Walikota Jambi terkait Perda Prostitusi dan Asusila disetiap kamar hotel.
Penutup.
Eks lokalisasi Pucuk ditutup lalu apakah persolaan pelacuran dan seks bebas bisa dihentikan?
Coba lihat beberapa media mengungkap, persoalan pelacuran dan seks bebas malah berkembang hingga kemana-mana. Bukan hanya di hotel namun sudah merambah hingga ke kos-kosan hingga aplikasi online. Parahnya lagi, seks bebas menjadi hal yang biasa bagi pemuda masa dalam pergaulan.
Nah, apakah penutupan eks lokalisasi pucuk menjadi solusi? Jika tujuannya untuk menutup kegiatan pelacuran itu tak akan berhasil, karena kegiatan melanggar hukum dan agama itu adalah perbuatan yang purba, bahkan terjadi sejak ribuan tahun lalu.
Apakah tujuannya untuk menjaga moral masyarakat, faktanya kegiatan menjijikan ini masih langgeng di beberapa tempat.
Lalu apakah usaha penutupan pucuk ini sia-sia? Benar karena tidak didasarkan pada analisa yang matang dan mitigasi terhadap perkembangan pelacuran ini.
Discussion about this post