Ilham Kurniawan Dartias*
Diskursus masa jabatan pemegang kekuasan semakin menarik untuk di elaborasi. Sindrom mengawetkan kekuasaan lebih dari 2 periode atau yang hangat saat ini jabatan 3 Periode semakin latah untuk diikutti terutama yang sedang memegang kekuasaan. Latah 3 periode ini tidak hanya mengerogoti kekuasaan negara tetapi juga menempel dalam tubuh suatu organisasi seperti partai politik yang ketua umumnya sudah 3 periode bahkan bisa lebih. Disamping itu sindrom 3 Periode ini ternyata juga merasuki organisasi advokat seperti yang menjadi perbincangat hangat mengenai jabatan Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan yang telah 3 periode.
Maka dari itu penulis mencoba mengelaborasi mengenai pragmatisme pemegang jabatan yang berusaha untuk mengawetnya kekuasaannya baik disuatu negara maupun di organisasi khususnya organisasi advokat (baca: PERADI) yang dinilai tidak baik untuk perkembangan demokrasi.
Arogansi kekuasaan
Sindrom melanggengkan kekuasaan dalam dinamika ketatanegaraan dan kehidupan berorganisasi hampir terjadi dipelosok dunia. Dalam kasanah ketatanegaraan beberapa negara yang pemimpinnya mencoba melanggengkan kekuasaan sebut saja Franklin D Roosevelt, Presiden AS dengan 4 periode masa Jabatan (1933-1945), padahal semua presiden sebelum Roosevelt hanya menjabat dua periode semata, karena mengikuti preseden yang dilakukan George Washington, Presiden pertama AS yang secara sukarela menolak untuk mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga pada 1797.
Kemudian barulah aturan 2 masa jabatan muncul setelah konstitusi AS diamandemen ke-22 kalinya pada 1951, untuk merespon fakta bahwa Roosevelt yang menjabat hingga 4 periode dinilai sebagai upaya melanggengkan kekuasaan.
Begitu juga di Indonesia Presiden Soekarno juga menjabat dalam kurun waktu yang lama dan bahkan Presiden Soekarno ternyata tergoda oleh kursi empuk kekuasan dengan mengangkat diri menjadi presiden semur hidup sebagaimana tercantum dalam Tap MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Sukarno, menjadi Presiden R.I seumur hidup. Hal serupa juga dilakukan oleh Presiden kedua R.I Soeharto yang mengawetkan kekuasaan hingga menjabat hingga 5 Periode (baca: 32 tahun) dengan alasan karena masih dipilih rakyat dan UUD 1945 tidak ada membatasi periode presiden, sehingga dengan semua kewenangan dan pengaruhnya Soeharto selalu menang dalam setiap pemilihan umum.
Pun begitu juga godaan kekuasaan menghinggapai Presiden Jokowi yang mana pada awal tahun 2022 ada godaan untuk 3 Periode masa jabatannya. Meskipun diawalnya tidak ada penolakan tegas dari Jokowi, akan tetapi kuatnya gelombang penolakan 3 Periode ini dari mahasiswa, aktifis dan buruh yang turun kejalanan, sehingga dapat menghambat sahwat Jokowi untuk 3 Periode, karena dinilai melanggar UUD 1945 dan juga konsensus Reformasi 1998 yang pada pokoknya membatasi periode presiden hanya 2 periode saja.
Sindrom melanggengkan kekuasaan ini tidak hanya pada jabatan negara saja tetapi pada organisasi/organ diluar negara juga menjalar. Sebut saja Ketua Umum beberapa Partai Politik yang tidak ada tergantikannya posisi seperti sosok ketua umum PDI-P Megawati Soekarno Putri dan Partai Gerinda dengan Sosok Prabowo Subianto.
Virus jabatan 3 Periode ini, juga menjalar kepada organisasi advokat. Hal ini mencuat seiring hiruk-pikuk kondisi organisasi advokat khsususnya PERADI yang tidak ada penyelesaiannya, sehingga PERADI sebagai perwujudan wadah tunggal organisasi advokat tidak dapat dilaksanakan lagi sebagaimana Amanah Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang mengatakan “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini…”, maka PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara. Hal ini tidak terlepas polemic suksesi pucuk pimpinan PERADI dan diperparah dengan jabat Otto Hasibuan sebagai Ketua Umum yang sudah memasuki masa 3 Periode.
Dampak dari kisrus dunia advokat ini kemudian Ketua Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Surat Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 perihal Penyumpahan Advokat yang pada pokoknya Mahkamah Agung R.I mengatakan “dibenarkannya Pengadilan Tinggi menyumpah advokat yang telah memenuhi syarat yang tidak hanya diusulkan dari PERADI atau Pengurus yang mengatasnamakan PERADI saja tetapi termasuk dari organisasi advokat manapun’, menjadi organisasi advokat bukan lagi bersifat Single Bar tetapi sudah bercorak Multi Bar. Penulis selaku advokat menilai sangat miris apabila arogansi akan kekuasaan di PERADI yang saat ini dipimpin oleh Otto Hasibuan masih di awetkan, maka PERADI sebagai wadah tunggal organisasi advokat adalah suatu keniscayaan;
Ratio Legis Pembatasan jabatan
Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan baik untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Prinsip check and balance ini jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi salah satunya adalah memberikan batasan terhadap naluri seseorang atau kelompok untuk berada pada zona nyaman kekuasaan.
Disamping pembagian kekuasaan agar tidak terfokus pada satu titik penguasa hal terpenting dalam menjaga marwah dan prinsip demokrasi adalah adanya suksesi kekuasaan yang mana konsep pembatasan kekuasan menjadi harga mutlak untuk membungkam arogansi penguasa untuk mempertahankan kekuasannya untuk jangka waktu yang lama.
Penulis menilai ratio legis (logika berfikir) pembatasan masa Jabatan adalah bertujuan untuk mewujudkan suatu negara atau organisasi yang demokrastis yang jauh dari penyalahgunanan kekuasaan serta arogansi akan kekuasaan.
Sebutnya Presiden Jokowi yang di goda para pembisiknya untuk 3 Periode terhalang dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi jabatan Presdien hanya 2 Periode. Sejatinya apabila Jokowi dengan partai koalisi yang gemuk saat ini ingin memuluskan presiden 3 periode bisa saja dilakukan amandemen konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945. Akan tetapi sampai saat ini tidak ada dilakukan Jokowi karena akan melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi serta konsensus reformasi 1998 mengenai pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden.
Hal berbeda dengan Jokowi justru terjadi pada organisasi advokat khususnya PERADI yang dipimpin oleh Otto Hasibuan. Jelas dan terang dalam AD/ART PERADI sampai tahun 2019 masa jabatan Ketua Umum PERADI hanya 2 Periode, akan tetapi melalui rapat pleno tahun 2019, Otto Hasibuan dan pendukungnya memuluskan Langkah Otto Hasibuan untuk bisa mencalon menjadi ketua umum dan kemudian terpilih pada Munas PERADI tahun 2020 menjadi Ketua umum untuk yang ke 3 kali.
Kemudian untuk memuluskan niatnya AD/ART yang disahkan dalam Pleno tahun 2019 kemudian disahkan dalam Munas PERADI tahun 2020, yang mana ketentuan AD/ART sebelumnya hanya boleh jabatan Ketua Umum 2 Periode, kemudian diubah dapat 3 Periode asalkan tidak berturut-turut. Hal ini menunjuk sifat pragmatis dan membuktikan Otto Hasibuan dan kroninya mempertontonkan arogansi akan kekuasaan selaku Ketua Umum PERADI yang membawahi puluhan ribu advokat di seluruh Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri keuntungan selaku ketua antara lain dapat mengelola potensi dan keuntungan yang sangat besar yaitu popularitas, materi/dana dari kegiatan PERADI seperti PKPA, UPA, Penyumpahan advokat, KTA. Dari segi marketing profesi advokat tentunya akan meningkatnya kepercayaan klien atau calon klien serta terbuka jalan untuk Go Internasional adalah berbagai kenikmatan yang diperoleh oleh seorang Ketua Umum PERADI. Tentunya sangat mengiurkan dan menjadi harapan semua advokat di seluruh Indonesia.
Maka dari itu penulis menilai ratio legis dari penyusunan AD/ART PERADI yang membatasi Ketua Umum hanya 2 Periode adalah agar terciptanya regenerasi dan menjaga keharmonisan dalam keluarga besar advokat tanpa mempertontonkan arogansi kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri godaan akan jabatan 3 Periode ini adalah tantangan terbesar bagi Otto Hasibuan, apabila Otto Hasibuan bisa menjaga kehormatan dan menghapus arogansi akan kekuasaan di PERADI, penulis berkeyakinan organisasi advokat tidak akan carut marut seperti saat ini.
Sudah bukan rahasia umum lagi saat ini semua organisasi advokat sudah bertebaran jumlahnya. Hal ini berimplikasi pada tidak efektifnya penegakan kode etik advokat dan PERADI sebagai wadah tunggal advokat hanya isapan jempol belaku. Maka dari itu penulis menilai agar langkah bijak penyatuan PERADI dimulai dengan menghilangkan arogansi kekuasaan Otto Hasibuan selaku Ketua PERADI dengan cara mundur dari Jabatan Ketua Umum PERADI dan kemudian melakukan MUNAS LUAR BIASA bersama PERADI lainnya untuk kembali menyatukan organisasi advokat kepada wadah tunggal advokat sebagaimana amanah Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Dengan menyatukan PERADI dan organisasi advokat lainnya kedalan satu wadah tunggal advokat ini, semoga adagium profesi advokat sebagai profesi yang officium nobile yaitu profesi mulia dan terhormat dapat benar-benar terwujud dalam penegakan dan penerapan hukum di Indonesia.
*Advokat anggota DPC PERADI Jambi