*by Ferdia Prakarsa, S.H
Dalam suatu negara demokrasi, Pemilihan umum merupakan mekanisme pergantian kekuasaan yang sah menurut prinsip demokrasi. Hak memberikan suara atau memilih merupakan hak dasar setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Pemilihan umum tetap menjadi persoalan yang menarik dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena setiap 5 (lima) tahun sekali bangsa Indonesia melaksanakan pesta demokrasi, baik pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maupun pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
Pemilihan Kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Perkembangan selanjutnya tentang sistem politik di daerah dibuktikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang saat itu belum mengakomodir mengenai Calon Perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pelaksanaan pilkada dengan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 54C ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015, bertanggal 29 September 2015 yang merupakan alas hukum calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah berpendapat bahwa, secara sistematis tampak nyata pembentuk Undang-Undang, di satu sisi, bermaksud bahwa dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon, di sisi lain, sama sekali tidak memberikan alternatif seandainya syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Terdapat potensi kekosongan hukum apabila syarat paling kurang dua pasangan calon tidak terpenuhi, yang berakibat tidak dapat diselenggarakannya pilkada yang hanya memiliki 1 (satu) pasangan calon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, untuk dapat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi semata-mata digantungkan pada keharusan paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dasar yuridis calon tunggal dalam pilkada sebagaimana diatur dalam UU 10/2016, dimana pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) suara sah. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen), maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. Sementara dalam Pasal 25 ayat (1) PKPU 13/2018 disebutkan bahwa apabila perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada periode berikutnya. Selain itu, Pasal 25 ayat (2) PKPU 13/2018 menyatakan bahwa, “Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Apabila dalam suatu Pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, tetapi yang menjadi pemenang adalah kotak kosong, maka sesuai dengan UU pilkada yang menyatakan, “Jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan”.
Pasangan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah Tahun 2015 terdapat pada 3 (tiga) daerah pemilihan, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kota Mataram, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Untuk Pada pilkada serentak tahun 2017, terdapat 9 (sembilan) daerah yang pelaksanaan pilkadanya diikuti hanya oleh 1 (satu pasangan calon Tunggal. Sementara pada pilkada tahun 2018, ada 16 (enam belas) pasangan calon tunggal untuk pemilihan bupati dan walikota. Selain itu, untuk pilkada tahun 2020, bakal pasangan calon kepala daerah tunggal terdapat 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota.
Saat ini menjelang Pilkada serentak 2024, fenomena tersebut mulai kelihatan ketika kandidat memborong seluruh partai pemilik kursi legsilatif untuk mendukungnya. fenomena calon kepala daerah memborong dukungan banyak partai untuk memenangkan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 ini akan terjadi di banyak daerah. Drama Kotak Kosong dalam Pilkada ini adalah demokrasi rekayasa yang seolah-olah demokrasi, sejatinya adalah bancakan partai politik, dan kepentingan elite, dan calon-calon kepala daerah kaya yang mampu melakukan segala cara melakukan rekayasa kekuasaan. Fenomena kotak kosong ini rata-rata di dominasi dengan adanya calon dari petahana yang sangat kuat.
Ada faktor keletihan berpolitik yang sedang terjadi terhadap para elit partai, hal ini disebabkan oleh jarak pelaksanaan antara Pemilihan Legsilatif (pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pilkada Serentak yang cukup berdekatan waktunya. Akibatnya para elit partai lebih memilih sikap pragmatis dengan merapat kepada figur paling kuat untuk diusung. melihat bahwat Tren partai politik yang pragmatis itu juga dampak dari proses dimana komitmen basis ideologi partai yang lemah, sehingga di dalam mengusung calon pemilihan kandidat itu sebagai peluang untuk memenangkan Disayangkan partai politik lebih memilih untuk mengusung calon tunggal yang berdampak munculnya “paslon” kotak kosong.
Kemunculan fenomena kotak kosong disebabkan oleh kegagalan kaderisasi partai politik, bahwa tidak ada proses kandidasi yang berjalan dengan sangat baik di tubuh partai politik. Demi kepentingan politik praktis, terkadang dalam mengusung pasangan calon lain yang akan dimajukan sebagai kontestan dalam pilkada. Praktik politik yang demikian biasanya dilakukan demi tercapainya tujuan partai politik jangka pendek. Akibatnya dalam jangka panjang adalah partai politik seperti kehilangan identitas sebagai lembaga yang bertugas melahirkan calon-calon pemimpin politik.
Lemahnya daya saing bakal calon dalam kompetisi politik juga merupakan factor yang cukup untuk mendorong munculnya Fenomena kotak kosong dalam Pilkada. Hal ini dapat disebabkan karena calon yang maju memborong dukungan semua partai politik sehingga menutup peluang bagi peserta lain untuk dapat maju menjadi calon peserta pilkada, artinya dengan modal yang besar, calon kepala daerah mengunci kesempatan bagi calon yang lain untuk mendapat dukungan. Sehingga dapat dilihat adanya pelemahan daya saing dan ketidakberanian melakukan kompetisi dalam pertarungan. Lawan dikalahkan sebelum maju dalam pertempuran.
kemunculan pasangan calon tunggal yang melawan kosong hanya akan memundurkan demokrasi karena tidak memberikan akses bagi calon pemimpin unggul dan terbaik. Kotak Kosong sebagai fenomena membuat demokrasi kita menjadi miskin. salah satu konsep demokrasi adalah pertarungan gagasan. Kalau hanya satu calon, gagasan apa yang dipertarungkan ?, Gagasan dipertarungkan agar pemilih punya alternatif pilihan yang menurut mereka baik. Dalam hal partai politik pada akhirnya berkongsi dan berkoalisi tanpa memajukan calon penantang, ya di situlah demokrasi tersumbat.
Secara yuridis, terhadap kotak kosong yang memenangkan Pilkada melawan pasangan calon yang kalah perolehan suara sah atau kurang dari 50%, maka Pemilihan berikutnya diulang kembali pada tahun berikutnya. Tentu saja hal ini mengakibatkan mahalnya biaya Pilkada yang bersumber dari alokasi belanja hibah daerah (APBD).
Terkait dengan keberlanjutan kepemimpinan kepala daerah sebelumnya yang telah habis masa jabatannya, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri menugaskan Penjabat (Pj) Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota untuk mengisi kekosongan hukum hingga penyelenggaraan Pemilihan serentak periode berikutnya. Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 54D ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang menyatakan bahwa dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilukada, maka Pemerintah menugaskan Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, atau Penjabat Walikota, maka seorang Penjabat (Pj) tentunya memiliki batasan kewenangan, artinya kewenangannya tidak sama dengan kewenangan yang dimiliki selaku kepala daerah yang memimpin sebelum bertindak mengikuti pemilihan umum periode berikutnya. Hal ini cukup berdampak pada kerugian daerah, Banyak kewenangan Kepala Daerah yang memerlukan persetujuan pemerintah pusat (Menteri Dalam Negeri) yang dapat memperlambat dan menghambat eksekusi tugas Pembangunan daerah.
Akhirnya, Kotak kosong adalah fenomena puncak gunung es yang selama ini terjadi di lembaga partai politik, pragmatisme politik, kegagalan kaderisasi serta miskinnya ideologi membuat partai politik tak lebih sebagai kendaraan semata. Partai Politik tidak mempunyai identitas, ideologi dan kualitas untuk menjalankan fungsinya sebagai partai politik. Dalam konteks Upaya meminimalisir munculnya Fenomena Paslon tungal melawan kotak kosong dalam Pilkada, Setidaknya perlu dilakukan langkah-langkah perubahan sebagai berikut : PERTAMA, perlu meninjau dan mengatur kembali Aturan-aturan normatif yang mengatur situasi, dampak, dan alternatif Solusi terhadap Pilkada dengan pasangan calon Tunggal. KEDUA, Menata kembali Sistem Rekrutmen, Pengkaderan dan Kandidasi calon kepala daerah oleh Parpol, Kedepan mestinya dalam rekrutmen kandidat/calon untuk berkontesasi di hajatan demokrasi sudah ada format yang jelas bahkan sebenarnya harus ada penekanan dari segi regulasi yang dapat meminimalisir calon tunggal.
*Advokat & Founder LAW INDEX OFFICE