Oleh: M. Ridha Saleh
Saya cukup kaget membaca pernyataan presiden di beberapa media cetak dan on line saat kunjunganya ke Prov Riau untuk melihat langsung kebakaran hutan dan lahan di desa Merbau, Kecamatan Banut, kabupaten Pelalawan
Presiden Jokowi Menyebutkan bahwa kebakaran di Riau ada unsur kesengajaan terorganisir indikasinya luas, lahan yang terbakar sangat luas, bahkan di depan awak media Jokowi menegaskan kalau lihat luasnya besar sekali ini terorganisir.
Di seluruh Indonesia, berdasarkan data BNPB, ada 2.862 titik panas. Untuk wilayah Kalimantan Tengah memiliki titik api (hotspot) terbanyak, yakni 954 titik. Kemudian, disusul Kalimantan Barat 527 titik api; Sumatera Selatan 366 titik api; Jambi 222 titik api; Kalimantan Selatan 119 titik api, dan Riau 59 titik api.
Sementara luas karhutla di Indonesia selama 2019, sesuai data KLHK, sudah mencapai 328.722 hektare. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektare, Kalbar (25.900 ha), Kalsel (19.490 ha), Sumsel (11.826 ha), Jambi (11.022 ha) dan Riau (49.266 ha).
Akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut telah mengakibatkan polusi udara yang sangat berbahaya, Berdasarkan aplikasi AirVisual, indeks kualitas udara (AQI) dan PM 2.5 mencapai angka 1.760 dengan kategori berbahaya. dan ini terjadi di hampir semua kota besar di Sumatra dan Kalimantan.
Hingga Selasa (17/9/2019), polisi telah menetapkan 218 orang dan 5 perusahaan sebagai tersangka. (kompas), sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel sekitar 42 perusahaan di 43 lokasi yang diduga menjadi otak di balik aksi pembakaran hutan.
Kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan lahan tersebut, Pertama yaitu asumi kerusakan ekologi atau ekosistem. Di dalamnya, termasuk kerusakan pada sumber daya fauna dan flora yang ada di wilayah yang terbakar.
Kedua yaitu asumsi gangguan pada kesehatan di masyarakat dankan hingga meninggal dunia
Ketiga yaitu kerugian pada kegiatan perekonomian masyarakat. Di dalamnya termasuk perdagangan, pariwisata, hingga perhubungan air udara dan alur yang mengalami keterlambatan atau delay.
kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Berdasarkan data Bank Dunia, saat kebakaran lahan besar-besaran terjadi 2015 lalu nilai kerugian pemerintah mencapai Rp2,5 triliun.
Jumlah kerugian itu belum termasuk dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, terhentinya proses produksi, terganggunya kegiatan perdagangan dan transportasi, serta menurunnya nilai sumber daya di daerah terdampak. Jika ditotal, estimasi kerugian bisa membengkak hingga Rp221 triliun.
Demikian pula bahwa dampak dari kebakaran hutan dan lahan tidak hanya akan mempengaruhi degradasi wilayah sekitar atau berdampak pada korban langsung, akan tetapi juga akan mempengaruhi wilayah-wilayah lain yang masih memperlihatkan relasi aliran sumberdaya seperti yang telah kita saksikan bersama.
“Ecocide adalah perusakan lingkungan alam yang terjadi atas dasar kelalaian atau tindakan sengaja yang dilakukan melalui berbagai aktivitas yang terorganisir serta membahayakan kehidupan manusia. Dengan demikian kejahatan
Ecocide dalam konteks kebakaran hutan dan lahan merupakan hasil dari eksternalisasi terhadap keamanan dan kedamaian ekosistim alam melalui destruktifikasi sistim keamanan dan presedur yang tidak memadai yang digunakan oleh korporasi dalam mengelola lingkungan hidup
Ecocide merupakan kejahatan modern setara dengan kejahatan internasional lainya yang disebut dalam Statuta Roma, dikarenakan tindakan, pelibatan, dan dampaknya terhadap esensi damai dan perdamaian penduduk, hak hidup dan tata kelangsungan kehidupan manusia dan lingkungan hidup masa kini dan masa yang akan datang.