Friday, July 18, 2025

Jungkir Balik Bisnis Media.

fb img 1744170059011

Oleh Andika Arnoldy

Program pencarian bakat menyanyi Indonesian Idol sesion 13 dimulai. Ini adalah salah satu ajang pencarian bakat yang ditunggu-tunggu karena banyak pemenang dari ajang ini menjadi artis besar seperti Judika hingga Mahalini.

Diawal kemunculannya, banyak masyarakat yang menyaksikan program ini dari layanan streaming seperti YouTube. Namun ada yang berbeda setelah lama menyaksikan Indonesia Idol ini, kenapa setiap tayangan dihadirkan tidak pernah penuh, hanya sebagian saja? Ternyata harus berlangganan aplikasi RCTI+ yang notabene berbayar.

Fenomena ini mengingatkan pada kanal berita online seperti tempo, kompasid, kumparan dan lain-lain yang memberikan berita sebagian namun jika mau penuh maka harus berlangganan perbulan atau pertahun.

Sama halnya dengan beberapa para konten kreator seperti Deddy Corbuzier yang menyediakan konten khusus member yang berbayar, sehingga kalau mau nonton program khusus harus bergabung bukan cuma jadi subscribe saja.

Malahan, konten kreator juga harus menerima endorse hingga menjual produk sendiri untuk menambah penghasilan mereka.

Kanal media digital lainnya seperti netflix, we TV, prime TV dan vidio serta lainnya yang juga harus berbayar.

Apa yang terjadi?

Saya ingin menetengahkan tulisan ini dengan pertanyaan bagaimana masa depan media? Dalam hal ini sebagai cara guna menghadapi bisnis media yang semakin merosot. Ini juga terdampak pada pertarungan pada digital yang makin tak terbendung, apalagi harus melawan raksasa seperti Google dan aplikasi media sosial seperti Facebook, Instagram dan x serta YouTube.

Wabil khusus untuk Google dan platform pencarian lainnya kini punya pesaing seperti kecerdasan buatan bernama chat GPT dan lainnya. Maka saat ini Google sedang mengembangkan Gemini untuk menyaingi perkembangan AI tersebut, seperti yang dilakukan X melalui Gork nya.

Maka media konvensional makin tak berdaya di kancah bisnis global yang makin sinting ini. Jangankan koran, media online, televisi bahkan juga terkena imbas atas persaingan terbuka ini.

Betapa tidak, daya iklan yang terpasang di media semakin menurun, bukan hanya dari segi kuantitas, tapi juga nilai (harga) iklan yang semakin menurun. Barangkali ini dipicu oleh jenuhnya masyarakat tentang iklan yang memenuhi konten media digital, sehingga mereka kadang melewatkan iklan tersebut.

Oke, katakan ada iklan namun iklan banyak dan nilai iklan juga kompetitif, tapi para penikmat media digital punya alternatif untuk mematikan tayangan iklan yang biasa disebut dengan adblock.

Bagaimana dengan Mitra bisnis media yang kadang melakukan paid media placement atau advetorial partnership? Seseorang klien akan banyak tanya jika ingin memasang iklannya di tempat kita. Pertanyaan yang diawal adalah berapa trafik dan followers yang bisa dihasilkan dari iklan ini? Jangan-jangan trafik dan followers media lebih sedikit ketimbang pemilik akun media sosial dari salah satu karyawan perusahaan yang ingin beriklan tersebut?

Tantangan yang seperti ini membuat banyak media yang jungkir balik hingga berguguran. Betapa tidak untuk membuat dan mengelola media membutuhkan banyak sumber daya dari mulai manusia hingga peralatan yang membutuhkan biaya.

Banyak, banyak sekali, ide perampingan dan efesiensi kadang malah menjebak eksploitasi sumber daya yang ujungnya malah merugikan.

Ya media yang berguguran itu tak perlu disebut nama dan jumlahnya, itu semua karena gagap menghadapi persoalan tantangan media saat ini.

Layanan streaming dan media berbayar adalah bagian dari cara untuk menghadapi tantangan ini, di tengah-tengah persaingan bisnis media yang terbuka.

Apakah metode berbayar ini akan berjalan lancar dan banyak membernya? Itu akan menjadi perang sendiri nantinya. Seberapa lama perang ini akan berlangsung dan berganti lagi dengan cara lain.

Tetap peka dan adaptasi, itu kuncinya.

Bagikan berita

Berita Terkait

Komentar

Popular post

Official Account