SWARANESIA.COM, Jakarta – Bagi umat Islam, peran sejarah bangsa Persia dalam membangun dan mengembangkan peradaban dan kebudayaan Islam adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Di antara kontribusi Persia terhadap peradaban Islam, sufisme Persia dapat dikatakan merupakan salah satu yang terbesar.
Islam di Indonesia, tak kecuali, juga tidak imun dari pengaruh kebudayaan Islam Persia ini. Salah satu tesis terkait asal-usul masuknya Islam ke Indonesia, seperti dikemukakan Hoesein Djajadiningrat, misalnya, juga mendalilkan berasal dari Persia, atau dari Gujarat-India yang sudah terpengaruh oleh budaya Persia.
Djajadiningrat (1981) dalam Islam di Indonesia berpendapat, tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki banyak persamaan dengan Persia (Iran). Peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai peringatan hari kematian? usain bin ‘Ali bin Abi? alib yang muncul di banyak wilayah Indonesia, menurutnya berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia.
Selain itu, seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara juga disinyalir diadopsi dari budaya Persia. Tak kecuali dari dunia sastra. Sufisme Persia hadir membawa warna baru dalam dunia sastra. Jauh sebelum Islam datang, negeri ini konon memang telah terkenal karena kemajuan sastranya. Setelah Islam masuk, sastra Persia mengalami proses asimilasi dengan nilai-nilai Islam sehingga melahirkan corak baru. Orang sering menyebutnya sastra sufistik. Bahkan sering dikatakan sufisme Persia sejak awal memang terkait erat dengan puisi.
Model sastra sufistik ini nantinya juga berpengaruh kuat di Melayu abad ke-16. Sedangkan bicara periode sastra Melayu klasik ini, di sini patut disebutkan nama besar Hamzah Fansuri. Dia adalah “Jalaluddin Rumi”-nya Kepulauan Nusantara, demikian Syed Naguib Al-Attas menegaskan dalam bukunya The Mysticisun of Hamzah Fansuri.
Apa pasalnya? Dari tinta penanya itu telah lahir sebuah genre sastra baru yang berbeda dengan model persajakan sebelumnya. Seperti diketahui, sastra Melayu sebelum kedatangan Islam setidaknya mengenal tiga bentuk ekspresi, yaitu pantun, seloka, dan gurindam. Setelah masuknya Islam, sastra melayu mengenal bentuk baru yang disebut syair.
As’adi Muhammad Ali (2017) dalam Ulama Perintis Syair Melayu memaparkan, jika pantun menggunakan persajakan a-b-a-b dan gurindam bersajak a-a-b-b, di mana dua baris pertama pada setiap bait pantun atau gurindam itu merupakan kalimat sampiran dan dua baris berikutnya ialah isi. Sementara syair menggunakan persajakan a-a-a-a, di mana semua baris dalam setiap bait merupakan isi dan tidak ada kalimat sampiran.
Ya, syair dalam sastra Melayu lahir dari gubahan persajakan Hamzah Fansuri. Masih dari artikel yang sama, Al-Attas menyimpulkan kemampuan puitika Fansuri tidak terlepas dari pengaruh budaya Arab-Persia. Kesimpulan yang sama juga diungkap oleh A Teeuw. Dalam Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia, sekalipun ada perbedaan rima (rubâ`i) antara syair Fansuri yang berpola a-a-a-a dan syair Arab-Persia yang aslinya berpola a-a-b-a, Teeuw juga menggarisbawahi besarnya pengaruh Arab-Persia pada puisi-puisinya.
Di sisi lain, merujuk Liaw Yock Fang (2011), Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, mengutip Amin Sweeney, dikatakan sebaliknya. Bahwa syair atau puisi Hamzah Fansuri lebih mendapat pengaruh yang kuat dari pantun Melayu ketimbang syair Arab-Persia.
Terlepas adanya kontroversi seputar asal-usul pengaruh yang membentuk syair Hamzah Fansuri—apakah berasal dari tradisi sastra Arab-Persia ataukah hasil inovasi pantun Melayu—Abdul Hadi dalam Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas mencatat bahwa Hamzah Fansuri dalam puisi-puisinya kerap merujuk tokoh-tokoh sastra sufi dari Persia seperti Fariduddin ‘Attar, Jalaludin Rumi, al-Ghazali, dan lain sebagainya.
Ini berarti, entah sedikit atau banyak tradisi sastra Arab-Persia telah mempengaruhi kemampuan ekspresi puitikanya. Barangkali saja, dua pendapat yang berbeda di atas adalah sama-sama benar dan sahihnya, bahwa yang terjadi secara aktual ialah fenomena akulturasi. Pujangga besar ini naga-naganya berhasil memadukan antara tradisi pantun Melayu dan tradisi syair Arab-Persia menjadi satu genre susastra yang baru.
Tulisan ini tidak bermaksud memasuki perdebatan seputar pertanyaan, sejauh mana pengaruh sastra sufisme Persia atau Arab-Persia di dalam karya-karya Fansuri. Juga tidak bermaksud mendedah perihal pandangan filosofi Hamzah Fansuri terkait konsepsi Wahdat al-Wujud.
Tulisan ini hanya hendak memaparkan terobosan karya sastra Fansuri dan sedikit catatan tentang sejarah personalnya. Ya, di samping ia dianggap sebagai ulama sufi di Nusantara dari abad ke-16, Hamzah Fansuri juga tercatat telah memberikan sumbangsih besar dan sekaligus peletak dasar-dasar puitika dan estetika Melayu, termasuk sastra Indonesia. Untuk soal capaian inovasi sastra ini jelas tidak muncul polemik atau kontroversi, semua ahli tampaknya sependapat.
Guru Tasawuf dan Pujangga Besar
Merujuk Abdul Hadi WM (1983), Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, bicara tempat kelahiran tokoh ini secara tepat, hingga saat ini masih menyisakan teka-teki. Ada yang mengatakan tokoh ini lahir di Samudra Pasai, atau Singkel, atau Barus, atau Shahr Nawi, atau bahkan juga ada yang mengatakan lahir di Persia.
Dugaan kuat Hamzah Fansuri berasal dari Barus. Dari tambahan nama di belakangnya yaitu “Fansur” kita mengenalnya sebagai tokoh yang berasal dari Barus, Aceh. Pasalnya kata “Barus” bila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi “Fansur”. Tapi di dalam sajak-sajaknya ia pun menyebut bahwa dirinya berasal dari Shahr Nawi, sebuah kota di Siam, tempat bermukimnya pedagang dan ulama Islam dari Persia dan Arab.
Jadi, meskipun tidak bisa dipastikan di mana ia sebenarnya lahir, namun cukup jelaslah kiranya kedua tempat ini memiliki makna yang penting dalam hidup penyair besar ini.
Demikian juga tahun kapan ia meninggal pun tak diketahui secara pasti. Bahkan sekadar bicara di mana kubur beliau hingga hari ini tampaknya juga masih teka-teki. Dalam artikel Hamzah Fansuri, Jasadnya Satu, Makamnya di Mana-mana karangan Jodhi Yudono (2013), mencatat setidaknya terdapat empat lokasi yang disinyalir merupakan makam Hamzah Fansuri.
Pertama, di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam. Kedua, Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Ketiga, konon berada di Langkawi, Malaysia. Dan terakhir atau keempat, konon juga berada di Mekah.
Banyaknya lokasi makam ini setidaknya menunjukkan, bagaimana derajat popularitas dan ketokohan Hamzah Fansuri di tengah masyarakat Melayu-Islam ketika itu bisa dikata sangat tinggi. Abdul Hadi menggarisbawahi soal kemahsyuran ini. Sebagai seorang sufi besar jelas Hamzah Fansuri sangat besar pengaruhnya di wilayah Nusantara pada abad ke-17 dan bahkan sesudahnya, menurutnya rasa-rasanya tidak ada yang bisa menyangkal.
Abdul Hadi, masih dari artikel yang sama, mengatakan dari sajak-sajaknya terekam Hamzah Fansuri pernah mengembara ke berbagai tempat dan negeri seperti Jawa, Siam, Semenanjung Melayu, Pesisir Sumatra, Persia dan tanah Arab seperti Baghdat, Mekah dan Madinah.
Sedangkan bicara kemampuan bahasanya, Hamzah Fansuri selain menguasai bahasa Melayu yaitu bahasa Ibu, ia juga mahir pula dalam bahasa Arab, Urdu, dan Persia. Penguasaan dua atau lebih bahasa inilah yang membuat ia sangat mudah memahami berbagai ajaran dari sufi-sufi terkemuka. Ini membuat ajaran-ajaran tasawuf dari Ibnu Arabi, Al Hallaj, Al Bistami, Maghribi, Syah Nikmatullah, Dalmi, Abdullah Jilli, Jalaluddin Rumi, Abdulqadir Jailani, dan lain-lain dipelajarinya dari khazanah tangan pertama.
Adapun dari segi pemikirannya karya-karya Hamzah Fansuri terlihat lebih banyak dipengaruhi oleh Ibn ‘Arabi. Ia berkarya dalam bahasa Melayu untuk pembaca yang tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.
Merujuk tulisan Ihsanudin dan Aimmatul Musliman (2016), Interferensi Morfologis Puisi Ruba’i Hamzah Fansuri, disebutkan karya Hamzah Fansuri yang terpenting ialah: Pertama, Asrar al-‘Arifin fi Bayani ‘Ilm al-Suluk wa al-Tauhid (Rahasia Ahli Ma‘rifat; kitab ini membahas masalah ilmu tauhid dan ilmu tarekat; dalam kitab ini tersimpan ajarannya); kedua, Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Orang Berahi; kitab ini membicarakan masalah tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat); ketiga, Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid); keempat, al-Muntahi (kitab ini membicarakan masalah tasawuf); dan kelima, Ruba’i Hamzah Fansuri (syair sufi, yang penuh butir-butir filsafat).
Karya yang terakhir ini, merujuk sumber di atas, dikatakan meski berupa prosa pada kenyataannya seperti bait puisi yang dinarasikan, di mana secara mayoritas bersajak a-a-a-a.
Sedangkan karyanya yang berupa syair antara lain, ialah: Syair si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang, dan Syair Perahu.
Kembali merujuk A Teeuw, sebagaimana dipaparkan oleh Liaw Yock Fang, syair sebagai jenis puisi berbaris empat dan berima a-a-a-a barulah tersebar luas setelah Hamzah Fanzuri menggubah karyanya. Dengan kata lain, Teeuw berpendapat Hamzah Fanzuri adalah pencipta syair Melayu yang pertama.
Jauh sebelum Teeuw mengemukakan hipotesanya itu, P Voorhoeve—masih merujuk buku Liaw Yock Fang—telah membuat kesimpulan yang sama. Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar bahasa Melayu di Paris pada 1952, Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Voorhoeve hampir serupa dengan alasan yang dikemukakan oleh Teeuw.
- Tidak ada karya syair sebelum Hamzah Fansuri;
- Tidak ada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali sangir dalam bahasa Jawa yang berasal dari Syair Melayu;
- Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri tidak dikenal sebagai syair melainkan sebagai ruba’i. Saking besarnya pengaruh gaya penulisan puisi ini, Nuruddin Ar-Raniri, tokoh utama di balik penyesatan ajaran Hamzah Fansuri, juga tercatat pernah menulis beberapa ruba’i mengikuti gaya tersebut dalam karyanya Bustanus Salatin.