Penelitian Esther Duflo berjudul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment” terbit pada 2000. Dalam artikelnya Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu.
Tahun 2019, Hadiah Nobel Ekonomi (Nobel Economics Prize) ke-51 dari Royal Swedish Academy of Sciences telah disematkan. Tahun ini tercatat tiga ekonom dianggap layak menerima penghargaan ini. Tiga nama ekonom yang semuanya kini tinggal di Amerika Serikat ini ialah Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer.
Royal Swedish Academy of Sciences, sebagaimana dikutip dari laman nobelprize.org menyebutkan, selain untuk mengenang Alfred Nobel, ketiga ekonom ini dianugerahi Nobel di bidang ilmu ekonomi terkait temuan penelitian mereka untuk meningkatkan kemampuan kita memerangi kemiskinan global. Selama dua dekade terakhir, tiga ekonom ini telah memelopori eksperimen di lapangan untuk menemukan cara paling efektif untuk mengatasi kemiskinan di negara-negara berkembang.
Dalam upaya memerangi kemiskinan global, ketiga ekonom itu mengembangkan pendekatan dengan melihat persoalan bukan dalam kerangka besar, namun mereka fokus pada pertanyaan-pertanyaan kecil atau lebih sederhana di tingkat individu atau kelompok. Dengan melihat persoalan kemiskinan dengan pertanyaan-pertanyaan kecil—seperti bagaimana meningkatkan pendidikan dan kesehatan anak dari sebuah masyarakat a atau b, misalnya—maka persoalan menjadi bisa dirumuskan lebih tepat dan sekaligus mudah dikelola. Sehingga, lebih jauh, juga bisa dirancang serangkaian kebijakan intervensi yang efektif.
Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer, tiga ekonom ini telah mengubah ilmu ekonomi pembangunan. Pendekatan mereka tetap dipandu oleh teori ekonomi mikro dan penggunaan data ekonomi mikro. Tapi pendekatan mereka bergeser fokus ke arah mengidentifikasi kebijakan yang bisa diterapkan secara efektif, yang dapat membuat klaim perihal dampaknya di lapangan.
Ketiga ekonom dari dua universitas ini menginisiasi pendekatan untuk mengurangi kemiskinan yang berbasis pada desain eksperimen lapangan. Hasilnya adalah wawasan praktis tentang bagaimana orang miskin merespons implementasi kebijakan program pendidikan atau kesehatan, dan program lain yang dimaksudkan untuk mengangkat tingkat kemampuan ekonomi masyarakat miskin.
Jika Kremer adalah seorang profesor di Universitas Harvard, Banerjee dan Duflo adalah profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dua nama yang disebutkan terakhir ini ialah sepasang suami istri.
Pada pertengahan 1990-an, Kremer berhasil menunjukkan betapa kuatnya pendekatan ini. Dia menggunakan eksperimen lapangan untuk menguji berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di Kenya barat.
Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, sering juga bersamaan dengan Michael Kremer, pun melakukan penelitian serupa tentang masalah lain dan di negara lain. Metode penelitian eksperimental mereka kini sepenuhnya mendominasi dan memapankan pendekatan ilmu ekonomi pembangunan.
Hasil langsung dari salah satu studi mereka ialah membuktikan bahwa, lebih dari lima juta anak-anak India telah mendapat manfaat dari program pendidikan yang efektif di sekolah. Contoh lain adalah subsidi besar untuk perawatan kesehatan yang telah diperkenalkan di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Kontribusi Duflo, Banerjee, dan Kremer ialah mendorong dan sekaligus mengilhami generasi peneliti baru untuk mengikuti jejak langkah mereka. Kini ilmu studi ekonomi pembangunan tidak hanya telah ditransformasikan secara meyakinkan, tetapi terus menjadi bidang pengetahuan yang berkembang dinamis dan menghasilkan pedoman yang secara empiris semakin bisa diandalkan untuk merumuskan kebijakan pembangunan.
Menarik dicatat di sini, sepasang suami istri ini, selain di India juga intens melakukan penelitian di Indonesia. Duflo, lahir di Paris, Perancis, dan kini mengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), sempat meneliti tentang program SD Inpres di masa Orde Baru dan dampaknya kemudian. Sedangkan Banerjee, lahir di Mumbay, India, pernah meneliti program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) atau lebih dikenal dengan nama BPJS Kesehatan.
Namun, bukan penelitian tersebut di ataas yang membawa kedua ekonom sekaligus suami istri ini meraih Hadiah Nobel Ekonomi. Sekalipun demikian, ini tentu saja tidak berarti riset dua ekonom ini di lapangan Indonesia menjadi tidak penting dan tidak menarik.
Pasalnya, bagaimanapun penelitian lapangan Duflo dan Banerjee di Indonesia ialah bagian dari sejarah pembentuk sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) mereka di bidang ilmu ekonomi pembangunan. Nantinya, berikut Michael Kremer selaku koleganya, ketiga ekonom ini oleh Royal Swedish Academy of Sciences dianggap berhasil merumuskan sebuah pendekatan baru berbasis eksperimental dalam ilmu ekonomi untuk mendekati problem kemiskinan masyarakat. Keberhasilan inilah membuat ketiga ekonom ini kemudian dianggap layak mendapatkan Hadiah Nobel Ekonomi.
Duflo dan SD Inpres
“Tanpa mau menghabiskan waktu untuk memahami seluk-beluk kehidupan masyarakat miskin, yaitu memahami mengapa mereka mengambil pilihan yang mereka buat, jelas tidaklah mungkin merancang sebuah pendekatan yang tepat,” ucap Duflo dalam konferensi pers terkait Hadiah Nobel Ekonomi yang diterimanya di MIT.
Jauh sebelumnya, dalam artikelnya Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way To Fight Global Poverty, Duflo dan Banerjee juga pernah mengatakan pentingnya mempelajari orang miskin bukan sebagai “karakter kartun”, tetapi sebagai manusia “dalam semua kompleksitas dan derajat kemiskinan mereka”.
Salah satu topik penyusun disertasi perempuan penerima Hadial Nobel Ekonomi yang kedua ini, fokus pada kebijakan perluasan sekolah di Indonesia di tahun 1970-an dan dampaknya ke depan. Penelitian sebagai syarat dia mengambil PhD di MIT pada 1999 ini memberikan bukti konklusif, bahwa di negara berkembang pada umumnya seperti juga kasus di Indonesia, adanya lebih banyak pendidikan juga berarti menghasilkan upah yang lebih tinggi.
Ekonom berusia 46 tahun dan sekaligus pemenang Hadiah Nobel Ekonomi termuda ini meneliti kebijakan SD Inpres yang dibentuk pemerintah Indonesia di era 1973 hingga 1978. SD Inpres merupakan salah satu kebijakan yang dibuat pada masa kepresidenan Soeharto. Merujuk data Bank Dunia, menurut Duflo di sepanjang antara tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak. Total biaya yang dikeluarkan lebih dari 500 juta dollar AS atau setara 1,5 persen dari GDP tahun 1973.
Penelitian Duflo ini diterbitkan dengan judul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment” pada tahun 2000. Dalam artikelnya itu Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu, yaitu pada 1973 – 1974.
SD Inpres muncul di era Soeharto untuk memperluas kesempatan belajar di perdesaan maupun perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah. Program ini terlaksana berkat karena tak terlepas dari berkah bonanza minyak dunia yang nilai jualnya melonjak tinggi ketika itu.
Duflo menjelaskan, bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Program SD Inpres, menurut penelitian Duflo, secara khusus telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Menurut hitungannya, keberhasilan pembangunan pendidikan ini bahkan memberikan dampak pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen.
“Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program,” tulis Esther Duflo.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan SD Inpres sebagai variabel instrumental dan dampak pendidikan terhadap upah pekerja, Duflo menyimpulkan kebijakan ini sukses “meningkatkan” perkonomian. Dampaknya di tahun 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Lalu, tercatat di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 – 5,4 persen.
SD Inpres merupakan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Soeharto lewat Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Berbekal spirit untuk mewujudkan kesempatan yang sama atas Pendidikan, hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring kebijakan itu, juga ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut.
Hingga periode 1993/1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring dengan itu, ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) I mencapai hampir Rp6,5 triliun.
Atas keberhasilan program SD Inpres ini, tak aneh jika pada 19 Juni 1993 UNESCO memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto berupa Piagam The Avicenna. Avicenna diambil dari nama seorang tokoh ilmu pengetahuan dari Dunia Islam di abad X di Timur. Sohor dipanggil dengan nama lbnu Sina. Ia seorang filosof dan ilmuwan yang merintis bidang ilmu kedokteran, oleh UNESCO nama besarnya ditempatkan menjadi simbolisasi penghargaan di bidang pendidikan dan etik dalam sains.
Tentu saja menarik digarisbawahi di sini. Kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat miskin, yang didorong kuat melalui Inpres No 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar, diapresiasi oleh salah satu ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi. Sudah tentu ada banyak pelajaran berharga dalam bagaimana pemerintah saat itu mendesain kebijakan pembangunan di sektor pendidikan.
Tahun 2019, tercatat alokasi APBN untuk pendidikan mencapai 492,5 triliun. Tahun 2020, angka ini naik sebesar 2,7 persen menjadi 505,8 triliun. Sudah tentu angka ini bukanlah angka kecil. Pada titik ini, bagaimana mendorong akselerasi peningkatan kualitas pendidikan secara efektif dan tepat sasaran bisa dikata masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Tentu, tak ada salahnya sekiranya hikmah kesuksesan program SD Inpres dari masa lalu itu, kini bisa menjadi pelajaran berharga bersama.