Oleh Mery Fafrida, S.P., S.Pd., M.Pd. (*)
Teknologi memberi banyak kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun di sisi lain teknologi juga menyebabkan banyak masalah baru. Teknologi yang seharusnya dimanfaatkan manusia untuk mengatasi berbagai masalah, malah menjadi alat untuk menciptakan kesenangan baru. Teknologi bukan lagi sekedar alat bantu tetapi telah menjadi barang mainan.
Teknologi telah melahirkan generasi baru, sejak beberapa waktu kebelakang terkenal dengan istilah anak zaman now. Istilah ini menunjukkan bahwa generasi sekarang berbeda dengan generasi zaman dulu. Anak zaman now sebenarnya adalah ungkapan untuk mengutarakan kekecewaan terhadap degradasi moral di zaman ini. Mereka terlalu menuruti nafsunya untuk mengikuti trend, tanpa memilah baik dan buruknya.
Kita sering mendengar bahwa masa remaja adalah masa pencarian identitas atau jati diri. Bagi kebanyakan orang, masa ini adalah sesuatu yang alami dan mesti dialami oleh setiap orang. Sehingga dianggap wajar jika anak-anak sering labil, berbuat nakal, suka membangkang, atau melakukan sesuatu yang aneh. Hal ini dianggap sebagai tanda bahwa mereka sedang mencari jati diri.
Perlu kita renungkan apakah benar masa remaja adalah masa mencari jati diri? Kalau memang benar demikian adanya, lalu apa fungsi keluarga yang memegang tanggung jawab utama dalam membentuk kepribadian anak? Apakah fungsi sekolah hanya untuk menjadikan anak sebagai dokter, pilot, ahli dagang, ahli bedah, dan ahli komputer semata?
Menurut Wendi Zarman (2012) mencari jati diri adalah pertanda krisis identitas. Jika sejak dini ditanamkan identitas mereka _sebagai muslim misalnya_ yang lengkap dengan seperangkat aturan dan nilai yang harus dipegang teguh, maka mereka tidak perlu megalami krisis identitas ini.
Jika orang tua bisa membimbing anak-anaknya dengan baik tentu tidak akan terjadi yang namanya krisis identitas. Tetapi, banyak orang tua yang mengalami krisis yang sama pula. Lihatlah banyak orang tua membiarkan anaknya menonton televisi dengan bebas. Banyak orang tua zaman sekarang bersedia memberi fasilitas bagi anaknya. Misalnya handphone (HP), internet, kendaraan, dan fasilitas lainnya tanpa mempertimbangkan apakah anak benar-benar membutuhkannya atau tidak. Pacaran dianggap sebagai hal yang wajar.
Sekolah yang menjadi tumpuan dalam pendidikan lebih banyak mengajarkan pengetahuan dibanding mengajarkan nilai-nilai. Pengetahuan yang diajarkan pun sering salah kaprah. Contoh, kita semua mungkin masih ingat, di sekolah diajarkan kebutuhan primer manusia adalah sandang, pangan, papan. Kebutuhan rohani menjadi kebutuhan sekunder. Apa akibat dari pendidikan yang seperti ini? Anak-anak akan salah kaprah dengan konsep hidupnya. Akhirnya mereka terombang-ambing oleh gelombang zaman.
Mari kita camkan firman Allah berikut ini:
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. Annisa’:9)
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia Perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat diatas menegaskan kewajiban orang tua untuk memperhatikan masa depan keluarganya, tidak hanya memperhatikan masa depan ekonominya, yang utama adalah masa depan akhirat (iman dan akhlaknya). Mereka wajib mendidik keluarganya agar tidak menjadi ahli neraka. Sebagai pendidik, gurupun memiliki tanggung jawab yang besar dalam pendidikan seorang anak.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125)
Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Tarbiyatul Aulad menyatakan bahwa ada tujuh hal yang menjadi tanggung jawab seorang pendidik terhadap anaknya. Ketujuh hal itu adalah tanggung jawab pendidikan iman, moral, fisik, rasio, psikologis, sosial, dan seksual. Tanggung jawab pendidikan iman adalah tanggung jawab pertama dan utama dari yang lainnya.
Untuk mendidik anak, tentu kita harus akrab dengan anak, dan tidak bisa tidak, kita harus secara sengaja meluangkan waktu untuk mereka. Muhammad Fauzil Adhim menjelaskan ada empat hal yang harus dilakukan waktu bersama anak. Pertama, menjalin kedekatan dengan mereka. Mari berkaca dengan Rasulullah Saw, betapa beliau selalu menjaga kehangatan hubungan dengan anaknya, cucu-cucunya, maupun dengan anak-anak kecil lainnya.
Kedua, membangun kredibilitas kita sebagai orang tua atau guru. Kuatnya kredibilitas akan membangkitkan kepercayaan. Sebaliknya jika runtuh, bisa menjadikan anak kehilangan rasa hormat.
Ketiga, membangun keyakinan, arah hidup dan cita-cita ideologis anak. Tidak penting kelak mereka akan jadi apa, asalkan semuanya dalam rangka mencari ridha Allah Swt. proses ini berlangsung selama mereka bercanda dan berbincang dengan kita.
Keempat, mengajarkan aturan hidup kepada mereka. Agama ini akan mereka rasakan jika perannya mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mereka jumpai aturan agama pada situasi apapun serta dalam urusan apapun. Tidak hanya dalam ritual ibadah semata.
Dalam praktiknya pendidikan anak dalam Islam ada tahapan yang sangat penting diketahui semua orang tua atau guru di sekolah. Tahapan ini penting dalam memberikan program yang tepat untuk anak-anak. Jika orang tua atau guru mampu memberikan program yang tepat pada setiap jenjangnya, anak akan berkembang dengan baik karena kebutuhan pada saat usia tertentu dapat terpenuhi. Sayyidina Ali bin Abi Thalib membagi tahapan perkembangan anak secara berjenjang per 7 tahun usianya.
Tujuh tahun pertama (0-7 tahun) perlakukan anak sebagai raja. Dalam tahapan anak sebagai raja berarti memperlakukan anak sebaik-baiknya. Ajak mereka bermain yang menyenangkan. Anak belajar dari permainan yang mereka lakukan. Banyak permainan yang bisa merangsang pertumbuhan motorik kasar dan motorik halus anak. Dalam tahap ini, anak harus mendapatkan pengalaman yang menyenangkan bahwa dunia ini indah. Sebagai raja, anak harus mendapat kesan bahwa dunia ini aman untuk dirinya. Walaupun kita memperlakukan anak sebagai raja bukan berarti mengikuti semua kemauannya. Orang tua atau guru bisa mengarahkan ke jenis permainan yang lain, misalnya saat ia memilih permainan yang berbahaya untuk dirinya, guru atau orang tua bukan menolak tapi mengalihkan ke permainan yang juga sama asyiknya. Memberikan semua keinginannya tentu tidak baik karena akan membuat anak menjadi manja.
Tujuh tahun kedua (7-14 tahun) perlakukan anak sebagai tawanan. Menjadi tawanan dalam arti positif adalah anak mengenal aturan. Sebagaimana halnya tawanan yang harus mengikuti setiap instruksi orang lain. Dalam tahap ini, anak mengenal aturan dan belajar disiplin atau proses penanaman dalam diri anak-anak. Dalam tahap ini Rasul saw. pernah mengatakan jika anak di usia 10 tahun harus belajar disiplin salat. Salat dan ibadah lainnya secara teratur harus sudah mulai dikerjakan oleh anak. Penanaman disiplin di tahap ini sangat penting karena akan menjadi pondasi untuk anak-anak saat mereka besar. Kehilangan momentum di tahap ini akan mengakibatkan anak tidak patuh, membangkang, atau melakukan suatu hal sesukanya. Guru dan orang tua memiliki otoritas yang kuat terhadap anak dalam mengarahkan dan menanamkan disiplin dengan baik.
Tujuh tahun ketiga (14-21 tahun) perlakukan anak sebagai duta besar. Pada tahap ini perkembangan kemampuan berpikirnya sudah memasuki tahap dewasa. Anak sudah mampu memutuskan hal yang harus dikerjakan atau tidak dikerjakannya, anak bisa memilih secara mandiri. Kemandirian anak menjadi modal untuk melepasnya sebagai duta besar. Otoritas orang tua dan guru secara perlahan berkurang. Otoritas dalam mendidik sudah tidak sebesar saat anak-anak waktu kecil. Tetapi tetap pengontrolan terhadap anak masih ada.
Kunci keberhasilan generasi ada pada pendidik (orang tua dan guru). Dengan pendidikan yang baik anak-anak kita akan mampu bertahan dari pengaruh negatif globalisasi, tidak akan terombang ambing dalam gelombang zaman.
Anak anak sekarang hidup di zaman keruntuhan nilai. Pendidikan tidak mereka dapatkan secara utuh. Mereka kemudian tumbuh tanpa pedoman akhlak yang jelas. Dalam keadaan seperti ini, mereka berpegang pada apa saja yang paling dekat dengan dirinya. Ketika seorang anak dalam krisis ini, kemudian berkenalan dengan geng motor, maka jadilah ia bagian dari geng motor tersebut. Ketika berinteraksi dengan grup pecinta hura-hura, maka jadilah ia pecinta hura-hura. Bila berinteraksi dengan kalangan shalih, maka jadilah ia termasuk anak shalih. Beruntunglah anak-anak yang menemukan identitasnya di dalam kelompok yang terakhir ini, tetapi sayangnya sebagian besar kenyataannya tidak demikian
* Penulis Adalah Guru SDIT Nurul Ilmi Jambi