SWARANESIA.COM, Jakarta – Menuju akhir 2019, harga emas tidak banyak bergerak sejak pekan lalu, berada di kisaran US$ 1.469-1.481/troy ons. Terlihat tidak menarik memang, tetapi jika dilihat sejak awal tahun, emas sungguh berkilau.
Emas secara tradisional dianggap sebagai aset aman (safe haven), fungsingnya sebagai hedging atau lindung nilai saat terjadi gejolak finansial di pasar maupun geopolitik. Sederhananya, emas digunakan sebagai “penyelamat kekayaan” para investor ketika kondisi finansial maupun geopolitik sedang gonjang-ganjing.
Sepanjang tahun ini, hingga Jumat (20/12/2019) pekan lalu, harga emas mencatat kenaikan lebih dari 15 persen ke level US$ 1.477,95/troy ons. Di awal September lalu, harga emas sempat naik 21 persen ke US$ 1.557/troy ons, menjadi level tertinggi dalam lebih dari enam tahun terakhir.
Kenaikan harga emas di tahun ini menjadi yang terbesar sejak tahun 2010, kala itu logam mulia ini melesat nyaris 30 persen, berdasarkan data Refinitiv. Yang menarik, kenaikan harga emas di tahun ini sejalan dengan kenaikan aset-aset berisiko. Tentunya hal tersebut berlawanan dengan fitrah emas sebagai aset safe haven, “penyelamat kekayaan”.
Ketika aset-aset berisiko terus menguat, emas yang merupakan aset tanpa imbal hasil biasanya menjadi tidak menarik. Investor tentunya akan lebih memilih aset berisiko yang memberikan imbal hasil atau keuntungan yang jauh lebih tinggi.
Kenaikan aset-aset berisiko di tahun ini lebih “gila” dari emas, bursa saham AS sebagai kiblat pasar saham dunia mencatat kenaikan double digit. Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini hingga akhir pekan lalu membukukan kenaikan 28,5 persen dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah 3.221,22. Kenaikan S&P 500 di tahun ini menjadi yang terbesar sejak tahun 2013.
Dengan kenaikan yang luar biasa tersebut, penguatan harga emas bisa dikatakan cukup impresif. Sehingga emas tidak hanya berperan sebagai aset safe haven, tetapi juga investasi yang menguntungkan dan menambah kekayaan hingga 15 persen di tahun ini, dengan asumsi berinvestasi di emas dunia sejak awal awal tahun.
Efek Domino Perang Dagang AS-China Picu Kenaikan Harga Emas
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi headline di pasar finansial global tahun ini, termasuk menjadi faktor utama yang membuat harga emas melesat. Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia ini memicu efek domino. Arus perdagangan dari dan ke AS maupun China menjadi terhambat, baik dari kedua negara maupun dari negara-negara lainnya.
Sebagai dua raksasa ekonomi dunia, ekspor impor dari berbagai negara tentunya akan menuju ke AS dan China. Ketika terjadi perang bea masuk aktivitas perekonomian di Negeri Paman Sam dan Tiongkok akan menurun, dampaknya permintaan impor dari negara-negara lainnya juga menjadi berkurang.
Juni 2018 menjadi awal perang dagang AS-China, dan dampaknya baru terasa di tahun ini. Pertumbuhan ekonomi AS-China mengalami pelambatan, yang turut menyeret pertumbuhan ekonomi global. Bahkan ancaman resesi terjadi dimana-mana.
Pada kuartal III-2019, produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 6 persen, terlihat masih tinggi, tetapi nyatanya pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1992.
Sementara pertumbuhan ekonomi AS sedikit lebih naik, pada periode yang yang sama PDB Paman Sam tumbuh 2,1 persen. Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 2 persen. Meski demikian, di pertengahan tahun ini AS sempat diterpa isu resesi.
Akibat perang dagang kedua negara, Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pertengahan Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3 persen, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2 persen.
Sementara Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen dari sebelumnya 3,2 persen.
Akibat pelambatan ekonomi tersebut, bank sentral di berbagai belahan dunia mengambil kebijakan longgar dengan menurunkan suku bunga untuk memberikan stimulus ke perekonomian masing-masing.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi salah satu bank sentral yang cukup agresif dalam memangkas suku bunga. Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75 persen.
Setelah perang dagang AS-China, penurunan suku bunga oleh The Fed ini menjadi faktor kedua yang mendorong kenaikan harga emas.
Emas dunia merupakan aset tanpa imbal hasil juga dibanderol dengan dolar AS. Penurunan suku bunga di AS memberikan keuntungan bagi investornya karena menurunkan opportunity cost atau biaya yang ditanggung karena memilih investasi emas, dibandingkan investasi lainnnya, misalnya obligasi AS.
Selain itu, penurunan suku bunga oleh The Fed juga membuat dolar AS tertekan. Di kala dolar AS melemah, maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaanya berpotensi meningkat.
Selain The Fed, masih banyak bank sentral utama dunia yang menurunkan suku bunga, bank sentral Australia juga menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75 persen.
Ada lagi European Central Bank (ECB) pada bulan September memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5 persen.
Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Belum lagi bank sentral negara-negara emerging market yang juga memangkas suku bunga secara agresif yang menyebabkan banjir likuiditas di pasar finansial. Akibatnya inflasi secara global berpotensi meningkat, emas sekali lagi mendapat keuntungan.
Secara tradisional, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga ketika inflasi meningkat, harga emas akan menjadi target investasi pelaku pasar.
Dari banyak faktor yang membuat harga emas menguat di tahun ini, perang dagang AS-China adalah kuncinya. Efek domino yang ditimbulkan mulai dari pelambatan ekonomi hingga berujung ke pelonggaran moneter membuat harga emas melesat naik, dan menambah kekayaan para investor, bukan hanya sebagai “penyelamat kekayaan”.
Discussion about this post