oleh Andika Arnoldy
Tiba-tiba kata efesiensi menjadi kata yang mengerikan, dia menyerupa genderuwo yang jika digambarkan seperti mahluk buruk rupa, penuh dengan bayang-bayang hitam, tak lupa gigi taringnya yang panjang dan tajam.
Dia juga bisa seperti sundel bolong, mahluk yang menakutkan dengan punggungnya yang bolong dipenuhi ulat dan belatung, benar-benar menjijikkan.
Efesiensi bukan kata yang ramah, penuh kesejukan dan menjajikan kesejahteraan. Tapi sebaliknya malah menjadi ujung dari segala kehancuran dan kebobrokan. Entah mengapa semua serba terbalik setelah semua terlanjur hancur malah bicara efesiensi bukan dari awal. Mengapa bisa begitu?
Maka benarlah kata Rocky Gerung yang ungkapannya selalu garing bagi penguasa itu, bahwa ditangan politisi kata yang bijak bisa menjadi kata rusak.
Sidang pembaca sekalian pasti tau apa yang sedang di tengahkan ini. Ya tentang efesiensi ala Prabowo-Gibran yang disebut-sebut tidak populis malah salah kaprah.
Sejak bangsa Indonesia merdeka baru Prabowo-Gibran yang memiliki kabinet gemuk, dari mulai menteri, wakil menteri yang bukan satu tapi ada yang tiga, staf khusus, utusan khusus dan lain-lain yang jumlahnya tak kurang dari 108 orang. Bukan malah saling bahu membahu, malah kadang membingungkan tentang istilah pembantu presiden tersebut dan untuk apa fungsinya.
Diketahui Center of Economic and Law Studies (Celios) melihat APBN berpotensi bengkak hingga Rp1,95 triliun, belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.
Estimasi jumlah menteri di kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang mencapai 49 menteri dan 59 wakil menteri, akan menguras APBN setiap tahunnya senilai Rp777 miliar. Artinya, terdapat peningkatan anggaran senilai Rp389,4 miliar/tahun dari alokasi gaji pada era Jokowi, ke era Prabowo. Untuk llima tahun ke depan, Rp389,4 miliar x 5 = Rp1.947 miliar atau Rp1,95 triliun yang Bendahara Negara perlu alokasikan.
(Bisnis.com)
Nah, bagaimana efesiensi itu terjadi, jika dari pimpinan saja tidak melakukan efesiensi yang nyata. Inilah namanya paradoks.
Istilah paradoks ternyata telah diproduksi Prabowo Subianto dalam bukunya Paradoks Indonesia: Pandangan Strategis Prabowo Subianto” yang terbit pada 2017. Berisi tentang pikiran-pikiran strategis Prabowo Subianto guna mengentaskan persoalan yang membelit bangsa dan negara kita.
Disimpulkan buku yang tersedia paket Pdfnya itu menyatakan kisah perjalanan yang menerangkan tentang kondisi negara republik Indonesia.
bahwa Negara kita kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, kita sebenarnya bisa menjadi negara kelas atas yang disegani dan dihormati. Seluruh rakyat Indonesia bisa hidup sejahtera, sesungguhnya, inilah tujuan kita bernegara. dan menjelaskan kondisi negara kita saat ini, dan menjelaskan dua tantangan besar yang harus kita hadapi dan atasi sebagai bangsa Indonesia, kekayaan kita yang terus mengalir ke luar, dan demokrasi kita yang dikuasai pemodal besar, dan bagaimana bangsa Indonesia sekarang hidup dalam sebuah kondisi yang disebut oleh Prabowo sebagai Paradoks Indonesia dan sebagai kita sebagai bangsa dapat mengatasinya.
Lalu bagaimana solusi strategis atas persoalan efesiensi ini?
Sebenarnya tujuan dari efesiensi ini adalah memangkas anggaran yang tidak bermanfaat atau mencari alternatif lain atas program yang tersebut. Contoh kegiatan studi banding ke luar kota bisa menggunakan teknologi streaming atau aplikasi rapat video seperti Google meet atau zoom.
Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025.
Target efisiensi anggaran Rp 306,7 triliun, dengan rincian Rp 256,1 triliun dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) dan Rp 50,6 triliun dari belanja transfer ke daerah (TKD).
Sejumlah K/L sudah melakukan penyesuaian belanja operasional, antara lain dengan memperbanyak working from anywhere (WFA), membatasi jam kerja kantor sampai pukul 16.00, mengurangi perjalanan dinas, efisiensi pemakaian listrik, AC, dan alat tulis kantor, menghilangkan operasional jemputan pegawai, hingga mengoptimalkan rapat-rapat secara daring. (Kompas.id)
Selain itu juga seperti kebutuhan yang dapat di efesiensi seperti mobil dinas, alat tulis kantor dan lainnya.
Namun entah mengapa efesiensi ini seperti blunder karena menyasar masyarakat. Efesiensi yang melahirkan kinerja buruk akan berakibat fatal pada masyarakat.
Blunder bisa terjadi karena poros mesin tidak bergerak karena mampet oleh anggaran yang tak tersedia. Sehingga apa yang seharusnya bisa disampaikan secara efektif kini harus dilakukan secara konvensional bahkan analog. Miris ya.
Nah bagaimana Prabowo-Gibran bisa mempertahankan efesiensi ini, sementara negara ini juga harus bergerak cepat mengejar ketertinggalan demi ketertinggalan.
Jangan gara-gara mengambil jerami tumpah semua tepung, ibarat kain yang diangkat tampak bawah yang ditarik tampak pinggang.