Lama – kelamaan Covid-19 ini akan menjadi isu elitis. Artinya isu Covid-19 yang tidak memandang akan menulari siapa, tapi soal pengawasan dan pemberantasannya sendiri akan menjadi pembahasan di kelompok terbatas. Katakanlah penguasa.
Kita tau bahwa kasus Covid-19 sulit ditekan, apalagi dihentikan. Waktu demi waktu kita hanya bisa melihat perkembangan kasus Covid-19 ini saja. Apakah berkurang atau bertambah. Hanya bisa memanjatkan doa supaya virus yang belum ada obatnya ini segera musnah dari dunia ini.
Namun seiring dengan perkembangan kasus Covid-19 ini, pemerintah dan kelompok masyarakat mulai peduli dan membuat gerakan. Tentu saja sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam perjalananya tentu ada rasa bangga atas kepedulian yang diberikan. Berlomba-lomba untuk peduli dengan mengucurkan dana sebanyak-banyaknya. Itu adalah perbuatan terpuji. Dalam agama itu disebut dengan fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan)
Di sebalik itu semua masyarakat juga ingin ada gerakan yang pasti, bukan hanya lips service saja. Agar bantuan yang diberikan sebagai bentuk kepedulian itu bermanfaat bagi seluruh yang membutuhkan dan terdampak virus Covid-19 ini.
Masalahnya adalah dari awal penanganan wabah Covid-19 ini ternyata belum dikerjakan dengan maksimal dan efektif, sehingga ada-ada saja, nantinya masalah baru atas penyelesaian wabah yang sudah merambah di semua penjuru dunia ini.
Masalah itu setidaknya dibagi atas tiga hal saja
Pertama Transparansi Data
Pemerintah pusat dan daerah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah berupaya memberikan imbauan, sosialisasi dan informasi-informasi terkait perkembangan Penanganan Covid-19, termasuk memberikan informasi tentang berapa jumlah Orang Dalam Pantauan (ODP), Pasien Dalam Perawatan (PDP) dan pasien positif. Semuanya diinformasikan secara rinci setiap hari pukul 16.00 di media Tv dan online.
Dari segi transparansi ini disayangkan adanya perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah, data kementrian kesehatan dan data pemda. Sehingga muncul keragu-raguan atas penyampaian data tersebut
Kasus yang terjadi di Jakarta misalnya, terjadi perbedaan angka yang meninggal dunia akibat Covid-19 ini, pada bulan Maret lalu dari data pemerintah pusat disebutkan 122 orang telah meninggal dunia, namun berdasarkan data pemerintah DKI Jakarta terdapat 283 orang yang telah dimakamkan karena Covid-19. (Kompas.com)
Perbedaan data ini juga dirasakan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dia mengatakan data yang ada sesungguhnya lebih banyak berlipat-lipat. Dikutip dari kumparan.com Ridwan Kamil mengatakan “Saya meyakini, kasus (COVID-19) kita berlipat-lipat menurut saya. Tapi karena kecepatan ngetes nggak sebanyak yang kita harapkan, maka data-data itu datang seolah-seolah sedikit,” ucap Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat bertelekonferensi, Jumat (3/4).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui, Kemenkes tak terbuka menyampaikan data terkait kasus COVID-19 di Indonesia. Bahkan BNPB sendiri tak bisa mengakses data secara menyeluruh.
Seperti dilansir dari tirto.id, disebutkan Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo menyebutkan data dari kemenkes tertutup.
Aktivis gerakan Kawal Covid Ainun Najib menegaskan ada problem besar dari data nasional yang disampaikan oleh Kemenkes atau pemerintah pusat. Tingkat validitas data itu dipertanyakan. Sebab belakangan, per hari, konsisten terdapat 100 kasus baru positif terjangkit COVID-19. Padahal sudah ada 14 laboratorium untuk tes COVID-19 di berbagai daerah.
Belum-belum soal riwayat PDP yang tidak disampaikan secara transparan.
Kedua Pengawasan
Akibat wabah Covid-19 ini banyak orang, Lembaga dan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk penanganan Covid-19 ini.
Bukan suatu kecurigaan tentang apa niat dari pemberian dana ini. Namun bagaimana proses penyaluran dan penggunaan dana ini. Apalagi dana yang diberikan apakah sama dengan apa yang disampaikan. Maka diperlukan pengawasan untuk itu semua.
KPK membentuk tim khusus untuk mengawal dan bekerja bersama satgas di tingkat pusat dan daerah serta dengan pihak terkait lainnya.
Seperti diberitakan MediaIndonesia.com Ketua KPK Firli Bahuri KPK telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Selain KPK harusnya juga ada Lembaga eksternal yang aktif memantau penggunaan dan Covid-19 ini. Misalnya dari Lembaga swadaya masyarakat, ormas atau organisasi mahasiswa.
Ketiga Evaluasi
Kenapa tidak tren kasus Covid-19 ini seolah tidak ada gerakan evaluasi dari berbagai kalangan. Semuanya seperti nrimo saja dari setiap kejadian.
Harusnya ada evaluasi atas kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi. Soal perbedaan data misalnya, itu harus menjadi evaluasi karena jika tidak akan meninggalkan keragu-raguan di kalangan masyarakat.
Persoalan Covid-19 ini harus diselesaikan secara serius telah menerapkan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun sebaiknya ini juga diiringi dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat, apalagi mereka yang terbiasa mencari makan/rezeki dengan mengumpulkan orang, seperti pedagang kecil.
Sudah saatnya itu dipikirkan agar persoalan ini tidak menjadi masalah besar dikemudian hari, setelah Covid-19 ini berlalu.
(Pemimpin Redaksi Swaranesia.com)