KISAH seorang sarjana teknik arsitektur menunggu gubernur Jakarta untuk mendapat proyek. Dia mundur setelah proyek kelar.
Ciputra, konglomerat Indonesia, wafat pada 27 November 2019 dalam usia 88 tahun. Hidupnya cukup panjang untuk ukuran manusia abad ini. Dia melewati bermacam zaman dan era pemerintahan. Dari kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, era Sukarno, otoritarianisme Soeharto, sampai masa Reformasi.
Rina Ciputra Sastrawinata, anak tertua Ciputra, mengatakan ayahnya tidak mengidap penyakit serius sebelum wafat. “Ayah saya meninggal karena usianya,” kata Rina dalam konferensi pers di Artpreneur Ciputra, Jakarta, Kamis 28 November 2019.
Ciputra bekerja menangani puluhan perusahaan hingga usia senja. Dia tercatat jarang sakit dan dirawat. Dia lebih sering terlihat sehat dan bugar dalam beragam kesempatan. Sembari berkelakar, dia sempat berbagi rahasia hidup sehat dan bugar.
“Saya sukses, tetapi setiap hari saya hanya makan rumput. Soalnya saya hanya makan nasi, roti, dan sayur-sayuran yang tidak mengandung zat purin, penyebab perkapuran. Hahaha…” kata Ciputra dalam Eksekutif, Agustus 1996. Ketika itu usianya sudah 65 tahun dan duduk sebagai Direktur Utama PT Pembangunan Jaya.
Ciputra juga rutin bermeditasi dan melakukan waitankung (Senam Sehat Indonesia). “Setiap hari saya bermeditasi dan berolahraga,” kata Ciputra. Karena tak ingin membuat senam itu hanya bermanfaat bagi dirinya, dia sebarkan waitankung kepada karyawan dan direksi di Grup Pembangunan Jaya, grup perusahaan yang dia pimpin selama hampir 35 tahun.
“Ciputra selalu punya keinginan agar hal-hal baik yang dinikmatinya juga dinikmati oleh orang lain,” catat Bondan Winarno dalam Kiat Menjadi Konglomerat: Pengalaman Grup Jaya.
Dari prinsip berbagi kenikmatan itulah, dia terlibat meremajakan Pasar Senen, proyek pertamanya di PT Pembangunan Jaya. Tapi kadang niat berbagi kenikmatan itu tak selalu laras dengan keinginan banyak orang.
Menunggu Gubernur
PT Pembangunan Jaya berdiri di Jakarta pada 3 September 1961. Ciputra selalu mengisahkan awal keterlibatannya di Pembangunan Jaya, bermula dari membaca Star Weekly pada 1961. Dia katakan Star Weekly memuat maklumat Soemarno, Gubernur Jakarta 1960—1964, kepada pihak swasta agar turut membangun Jakarta.
“Saya ingin mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam usaha pembangunan besar-besaran Jakarta Raya. Dan saya tahu dan yakin, bahwa masyarakat ibu kota mempunyai potensi yang besar, baik dalam hal manajemen, maupun dalam modal (keuangan),” kata Soemarno dalam Star Weekly, 15 April 1961.
Jakarta tengah giat dengan aneka pembangunan fisik pada dekade awal 1960-an. Sukarno membayangkan Jakarta akan menjadi wajah muka Indonesia baru. Dia rencanakan pembangunan gedung-gedung bertingkat, jalan-jalan lebar nan lapang, jembatan layang modern, dan kompleks olahraga megah.
Ciputra kepincut dengan ajakan Soemarno dan terkesan pada semangat menggebu Sukarno. Dia pun ambil koper, berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Dia bilang tak akan melupakan dua temannya jika memperoleh proyek di Jakarta.
Ciputra meninggalkan sementara pekerjaannya di CV Daja Tjipta. Dia telah merintis perusahaan itu bersama dua kawannya sejak masih kuliah di Institut Pertanian Bandung (ITB) pada pertengahan dekade 1950-an. Perkembangannya bagus, tetapi lambat.
“Moda bisnisnya juga begitu-begitu saja. Menerima order, tawar-menawar, dan pembangunan pun berjalan sesuai biaya yang disepakati,” kata Ciputra kepada Alberthiene Endah dalam The Passion of My Life.
Ciputra menginginkan perusahaannya melompat lebih jauh dan berkembang melampaui bisnis kontraktor atau jasa konsultan arsitek.
Ciputra beberapa kali berjalan melihat sudut-sudut kota Bandung dan Jakarta. Pasarnya becek, bangunannya rusak, rapuh dimakan usia, dan tak elok dipandang mata. Dia membayangkan keadaan buruk itu masih bisa berubah jadi lebih baik. Dia menikmati mimpinya dan bertekad mewujudkannya. Caranya dengan mengubah perusahaannya menjelma pengembang wilayah (developer).
Kesempatan itu terbuka luas di Jakarta, kota yang tengah gandrung dengan pembangunan fisik di banyak sudut, tetapi sudut lainnya justru bobrok dan jauh dari pembangunan.
Tapi menemui Soemarno bukanlah perkara mudah. Ciputra seorang arsitek piyik. Baru lulus dari ITB dan cuma punya perusahaan kecil. Selain itu, jadwal Soemarno pun sangat padat.
Di kota sebesar Jakarta, reputasi Ciputra benar-benar nol pothol. Tak punya nama. Dia harus menunggu berhari-hari di kantor gubernur hanya untuk bertemu dengan Soemarno. Tapi kesabarannya terbayar.
“Melalui seorang keluarga, saya bisa menemui Pak Marno di rumahnya pukul 9 malam. Di situ saya sampaikan bahwa saya ingin membantu pemda,” kata Ciputra dalam Eksekutif.
Soemarno bertanya apa konsep Ciputra tentang pembangunan Jakarta. “Saya katakan bahwa sebuah kota bisa dipercantik dan terlihat lebih modern dengan peremajaan, selain juga membangun properti baru. Konsep pembangunan harus sebesar-besarnya menonjolkan daya guna, dengan biaya efisien tapi hasil bangunannya kokoh,” kata Ciputra dalam The Passion of My Life.
Konsep Ciputra rupanya klop dengan rencana Soemarno meremajakan Pasar Senen. “Pasar Senen ini sibuknya dan kotornya bukan main, siang dan malam, dua puluh empat jam terus menerus,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945—1966. Maka Soemarno meminta Ciputra bikin rencana peremajaan Pasar Senen.
Saham 3 Persen
Ciputra meminjam sepeda motor. Dia mengelilingi Pasar Senen saban terang tanah untuk mengumpulkan bahan. Malam hari, dia tidur di rumah sepupunya. Sempit, tetapi cukup dekat dengan Pasar Senen. Menghemat jarak tempuh dan membuat kerjanya mangkus.
Setelah bahan terkumpul, Ciputra kembali ke Bandung untuk menyelesaikan rencananya dengan bantuan dua temannya.
“Dalam dua minggu mereka sudah merampungkan rencana yang siap diajukan kepada Gubernur Soemarno,” ungkap Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang: Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun.
Soemarno menyetujui rencana Ciputra, lantas membawanya ke Sukarno untuk presentasi. Sukarno manggut-manggut dan mengajukan dua pertanyaan: pengelolaan sampah dan cara membangun pasar sebesar Senen.
Ciputra merencanakan sampah pasar akan dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diangkut oleh Dinas Kebersihan. Tentang cara membangun, dia jelaskan tahapannya. Dari pembebasan lahan, pembangunan toko-toko darurat atau penampungan sementara di sekitar Senen, sampai pembangunan blok demi blok. Semua rapi dan terencana.
“Presiden Sukarno lalu menyetujui agar proyek itu segera dilaksanakan,” lanjut Bondan.
Masalahnya kemudian adalah uang. Rencana Ciputra bagus, tapi uang untuk mengkonkretkan rencana itu darimana?
Ciputra angkat tangan
Soemarno juga pusing dengan soal uang. Karena itu, dia mengajak pihak swasta dan tokoh bisnis lainnya. Mereka adalah J.D. Massie, R.A.B. Massie, Jusuf Muda Dalam, S.S. Amidharmo, Hasjim Ning, dan A.M. Dasaad.
Mereka seiya sekata untuk membiayai Proyek Senen melalui pendirian perusahaan. Syaratnya, perusahaan itu tidak dikelola pemerintah pusat atau daerah.
“Perusahaan negara terikat oleh begitu banyak birokrasi sehingga akan lamban dalam menangani pekerjaan seperti itu. Selain itu, perusahaan negara tidak terlalu berani menyerempet bahaya karena pertanggungjawaban administratifnya repot,” kata mereka.
Soemarno tak bisa menampiknya. Dia merestui pendirian perusahaan itu. Inilah PT Pembangunan Jaya, pelaksana teknis Proyek Senen. Modal awalnya Rp10 juta setara dengan Rp93 juta nilai uang sekarang. Hasil patungan pengusaha kakap tadi. Mereka mendapat saham sesuai dengan porsi setorannya. Hasjim Ning menjadi direktur utamanya.
Pemerintah Daerah Jakarta tidak keluar uang sepicis pun. Tetapi sebagai pemegang otoritas Proyek Senen, mereka memperoleh saham 25 persen dalam PT Pembangunan Jaya. Kepemilikan ini tak berlangsung lama. Sebab UU No. 5 Tahun 1962 melarang keterlibatan pemerintah dalam usaha swasta. Pemerintah daerah menyerahkan kembali saham tersebut.
Ciputra hanya memegang saham sebanyak tiga persen. Itu pun dari meminjam dana pengusaha lainnya. Saham itu juga masih harus dibagi dengan dua temannya di CV Daja Tjipta.
Kepikiran yang Digusur
Kekuatan dana awal Pembangunan Jaya sebenarnya tak cukup untuk membiayai Proyek Senen. Ciputra mengusulkan pengalihan dana untuk pembangunan rumah di Slipi, Jakarta Tengah. Sebab jika menunggu uang terkumpul, nilai uang akan tergerus inflasi. Keuntungan dari Proyek Slipi digunakan untuk membiayai Proyek Senen.
“Peranan proyek-proyek pembantu adalah efektif untuk kebutuhan keuangan Proyek Senen,” catat Soemarno.
Proyek Senen mulai bergulir pada 26 April 1964. Warga sekitar dikumpulkan. Pengumuman diberikan. Lahan-lahan akan dibebaskan. Rumah-rumah bakal dihancurkan. Ganti rugi segera disiapkan. Toko-toko darurat nantinya didirikan. Bahkan makam-makam pun harus ikut dipindahkan.
Ciputra sebagai pemimpin proyek kerap memperoleh kritik warga. Seorang warga datang padanya dan mengaku pensiunan tentara. Dia menodongkan pistol ke Ciputra. Alasannya tidak puas dengan proses ganti rugi. Padahal proses ganti rugi dan pembebasan lahan sepenuhnya urusan pemerintah daerah.
“Saya lelah dikritik, Pak,” curhat Ciputra ke Hasjim Ning.
Selain kritik, datang pula peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ketegangan merebak di mana-mana. Perekonomian lumpuh. Kerja berhenti sementara. Tapi tahun 1966 menjadi titik balik. Ali Sadikin menjabat gubernur Jakarta. Perekonomian bergeliat lagi. Proyek Senen dimulai kembali.
Proyek berjalan cepat. Pasar Senen tampil dengan wajah baru. Sebuah gedung empat lantai dengan luas 28.551 m2.
“Jakarta terkesima. Bung Karno dan Bang Ali merasa puas,” kata Ciputra. Ada rasa bangga dalam dirinya. Tapi dia kepikiran juga dengan penduduk yang tergusur. Orang-orang yang marah. Orang-orang yang kehidupannya tak akan pernah sama lagi.
“Barangkali ada ratusan keluarga yang kemudian hidupnya menjadi mundur bahkan terpuruk setelah kami paksa pindah. Siapa yang tahu?” kenang Ciputra kepada Alberthiene Endah. Prinsip berbagi kenikmatan tidak selalu berjalan mulus.
Ciputra memutuskan mundur dari Proyek Senen dan bertekad hanya kerja sebagai pengembang. Dia memutuskan kerja selanjutnya adalah mencari lahan kosong dan nganggur. Lalu mengubahnya bernilai guna.