Oleh : Dr. Noviardi Ferzi *
– Banyak kalangan termasuk saya, sudah mulai mempertanyakan fakta bahwa belum adanya perkembangan signifikan di Provinsi Jambi di era kepemimpinan Gubernur Al Haris.
Sebuah pertanyaan yang lumrah, karena kita ini warga Jambi, punya kepedulian akan daerah ini. Kami menginginkan Jambi semangkin maju secara nyata, bukan maju dalam berita absurd pencitraan yang dipabrikasi dengan masif.
Pasca dilantik Juli 2021 lalu saya termasuk orang yang respek terhadap Gubernur Al Haris. Dalam berbagai kesempatan saya mencoba memberi dukungan basis argumentasi berbagai program dan kebijakan yang ia ambil selaku Gubernur. Dukungan ini beberapa kali saya tuangkan dalam bentuk tulisan sebagai ulasan positif akan usaha awal Gubernur yang baru dilantik waktu itu.
Salah satu tulisan saya waktu itu masalah pembangunan stadion pijoan, meski arus penolakan publik cukup kencang, dengan berbagai pendekatan dan pandangan ilmu perencanaan dan kewilayahan saya memberi pembelaan akan kebijakannya untuk membangun stadion.
Kenapa saya membelanya waktu itu ? Karena waktu itu saya berharap banyak kepada gubernur terpilih untuk melanjutkan apa yang sudah ada membuat banyak terobosan-terobosan baru yang memacu pertumbuhan semua bidang di Provinsi Jambi.
Namun, setahun berjalan, saya melihat Jambi tidak mengalami kemajuan apa – apa dari semua sisi, ekonomi stagnasi, multiflier pertumbuhan infrastruktur tak terjadi, daya saing daerah yang rendah, keberpihakan pemrov pada masyarakat yang meragukan, masalah batubara, inflasi dan daya beli, layanan publik, tata kelola pemerintahan yang tak kunjung membaik dan sebagainya.
Padahal dari sisi besaran dana pembangunan, APBD Provinsi cukup besar. Namun, APBD yang besar seolah mengalami disfungsi. Kenapa APBD provinsi Jambi digolongkan mengali disfungsi fiskal ? Jawabannya pengaruh APBD pada kesejahteraan masyarakat rendah.
Salah satu kesalahan Gubernur Jambi dalam mengelola fiskal hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membangun infrastruktur daerah.
Gubernur tidak kreatif dengan hanya melakukan hal-hal administratif, seperti menggunakan dana yang diberikan dari pemerintah pusat tanpa melakukan inovasi lebih, terobosan baru, mengembangkan daerahnya secara tidak konvensional
Walhasil, semua masalah di atas silih berganti memenuhi ruang media dan sosial, seperti masalah kemacetan jalan karena angkutan batubara, telah menjadi menu utama media sosial, dalam grup – grup WA hingga diskusi di banyak tempat dan waktu.
Parahnya untuk menjawab ini Gubernur Jambi bukan mengkedepankan kerja nyata untuk rakyat, malah ia terjebak seremonial tanpa makna yang tak berkesudahan. Hari hari kini, publik Jambi dipertontonkan berbagai kegiatan seremonial Gubernur menerima kunjungan pejabat pusat, apalah itu menteri, kepala badan dan pejabat lainnya dari pusat silih berganti berkunjung ke Jambi, meski hasilnya tak jelas apa.
Tentu tak ada yang salah akan kunjungan ini, bahkan jika dikutu dengan tindak lanjut akan berdampak baik dari sisi anggaran pembangunan yang diterima Provinsi. Namun, sayangnya, kunjungan – kunjungan yang banyak ini minim imbal balik bagi pembangunan Jambi. Buktinya lihat saja besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk provinsi Jambi, relatip tak berubah seiring semarak rangkain kunjungan tersebut.
Salahnya dimana ? Tentu saja yang salah adalah Gubernur, karena Jambi mantap tak menyiapkan banyak program yang bisa dibantu atau dikolaborasikan dengan pusat. Selain itu pusat juga bingung ketika permintaan Gubernur masih bersipat lokal tidak bersipat kewilayahan layaknya kepala daerah yang mengepalai provinsi. Ya Jambi dibawah kepemimpinan Gubernur Al Haris amat lemah soal perencanaan, tak ada program unggulan yang bisa dikedepankan.
Masalah lemahnya peran APBD Provinsi Jambi pada kemiskinan bukan saja dalam bentuk program sosial ekonomi berupa bantuan, pemberdayaan atau pelatihan yang jauh dari kata memadai dari segi besaran, juga menyentuh level ketepatan program dengan karakteristik masalah kemiskinan yang ada, termasuk dalam hal ini akurasi data penerima bantuan yang kurang tepat sasaran.
Selain masalah klasik tersebut kemiskinan di Provinsi Jambi menyangkut kurang daya dukung infrastruktur jalan dan kemacetan Batubara. Pendekatan pembangunan infrastruktur Jambi masih jauh dari pendekatan ekonomi warga secara ekonomi. Buktinya, banyak dana APBD di plot untuk berbagai program mercu suar pemerintah dalam pola Multi Years tak terkait langsung dengan pengentasan kemiskinan. Lihat saja, pembangunan RTH yang menelan biaya 35 milyar, Stadion 410 milyar yang menyisakan pertanyaan, seberapa penting disaat kemiskinan tak tertuntaskan ?
Dalam masa satu setengah dekade ini terjadi anomali pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi sudah sejak satu dekade lalu memunculkan tanda – tandanya. Indikasinya ketika Jambi mampu melakukan pertumbuhan ekonomi, namun pada saat bersamaan kemiskinan juga bertambah.
Idealnya, pertumbuhan bisa memangkas kemiskinan, bukan sebaliknya pertumbuhan yang melahirkan kelompok miskin baru. Sebuah anomali, kondisi yang terbalik dari semestinya.
Namun nyatanya pertumbuhan tidak mengubah banyak struktur pendapatan masyarakat. Buktinya, bisa dilihat dari angka angka kemiskinan di Provinsi Jambi yang justru meningkat.
Perbandingan sederhana untuk mengambarkan anomali ini di Pulau Sumatera, Jambi berada di posisi ke tujuh paling banyaknya penduduk Miskin, namun disisi lain pertumbuhan ekonomi Jambi termasuk paling tinggi di regional sumatera.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin pertumbuhan ekonomi terbaik di Sumatera tapi kemiskinan justru salah satu paling tinggi di Swarna Dwipa ? Tulisan ini mencoba menjawabnya.
Dalam dua tahun lebih kepemimpinan Gubernur Al Haris angka kemiskinan Provinsi Jambi mengalami stagnasi atau tak mengalami perubahan bahkan cenderung meningkat.
Fakta lain, kemiskinan yang meningkat ini disaat APBD Provinsi Jambi meningkat, di 2023 ini saja APBD Jambi mencapai 5,2 triliun, meningkat dari 4,7 triliun di tahun 2022 dan 4,5 triliun di 2021.
Soal Ekonomi misalnya, meski Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Provinsi Jambi trend meningkat. Namun tidak berdampak pada kestabilan serta kesejahteraan masyarakat. Pada khususnya masyarakat eknomi menengah ke bawah.
LPE Provinsi Jambi memperlihatkan dimana ekonomi Jambi dikelola secara autopilot. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bertambah akibat meningkatnya jumlah penduduk yang searah dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Dengan PDRB Rp 233 triliun (2021) dan jumlah penduduk 3.5 juta jiwa, pendapatan per kapita Provinsi Jambi mencapai Rp56, 24 juta.
Kita bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDRB) Kepulauan Riau sebesar Rp 249,08 triliun dengan jumlah penduduk 2,14 juta jiwa. Artinya PDRB per kapita provinsi dengan ibu kota Tanjung Pinang tersebut sebesar Rp 116,58 juta per kapita.
Lalu, jika yang miskin tetap miskin, sesungguhnya pembangunan sudah kehilangan esensinya, dan inilah yang terjadi di provinsi Jambi. Pembangunan kurang bermakna bagi sebagian masyarakat.
Akar dari masalah ini adalah Gubernur minim terobosan, bahkan tidak terdengar bisik-bisiknya sama sekali, apalagi gaungnya. Memasuki tiga tahun pemerintahanya Gubernur masih membenahi organisasi yang ada dilingkup provinsi. Bongkar pasang terus terjadi, menandakan Gubernur tak memiliki tim kerja yang handal, mungkin ini yang menyebabkan tidak adanya terobosan.
Waktu tersisa tinggal setahun saja, sepertinya Jambi akan semakin jauh saja dari kemajuan apabila Gubernur sebagai pemimpin masih berjalan seperti 2 tahun kebelakang. Tentu, kita berharap, Semoga Allah memberi kekuatan kepada beliau supaya membuat terobosan baru yang lebih meningkatkan keilmuan, kemampuan, kesejahteraan dan kedamaian warganya.
* Pengamat.