SWARANESIA.COM, Jakarta – Silang pendapat tentang amendemen konstitusi pada ujungnya sampai di pusaran isu tentang tata cara pemilihan dan masa jabatan presiden. Tak urung, wacana mengenai amendemen itu membuat Presiden Joko Widodo merasa gerah, terutama yang terkait isu masa jabatan presiden bisa tiga periode. Presiden Jokowi bahkan beranggapan ide semacam itu dialamatkan kepada dirinya dan tidak dilandasi niat tulus.
Usulan semacam itu, tutur Presiden, dilandasi tiga motif. ‘’Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,’’ kata presiden pada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/2019).
Tak heran bila Presiden Jokowi jengkel, isu masa jabatan tiga periode itu akan berpotensi mengundang tuduhan bahwa wacana amendemen itu atas nama kepentingan dirinya. ‘’Jadi, lebih baik enggak usah amendemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan eksternal yang tak mudah diselesaikan,” katanya pula.
Awalnya, isu amendemen yang bergulir itu sebatas tentang perlunya “haluan negara”. Acuannya adalah GBHN (gari-garis besar haluan negara) sebagaimana tertera pada UUD 1945 pra-amendemen. Kehadiran haluan negara itu dianggap penting agar pemerintah punya acuan arah pembangunan jangka menengah dan panjang, yang terjaga kontinyuitasnya. Agar punya legitimasi kuat, haluan negara itu perlu disahkan oleh MPR karena merepresentasikan kehendak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Di era reformasi ini tidak ada jaminan kontinyuitas program pembangunan. Gencarnya Presiden Jokowi membangun infrastruktur tak punya jaminan akan berlanjut ke pemerintahan berikutnya. UU Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJMP) mudah bergeser oleh mood politik. Maka, pada Sidang MPR pada 16 Agustus 2018, terbentuk Panitia ad hoc yang bertugas menyiapkan materi pokok haluan negara. Panitia ad hoc tersebut telah bekerja sama akhir jabatan DPR dan DPD RI 2014-2019.
Namun, dengan perubahan anggota dan pimpinan MPR, mood perubahan itu bergeser lagi. Mula-mula, ada pertanyaan mendasar tentang kedudukan konsep haluan negara itu sebagai sumber hukum. Siapa yang mengambil sikap jika haluan negara tidak dijalankan. Berbagai pandangan mengemuka. Ada pandangan bahwa MPR yang harus mengawalnya, dan agar MPR memiliki wibawa dan dapat mengontrol presiden, ia harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Dengan begitu, MPR sekaligus bisa mengangkat dan memberhentikan presiden/wapres. Dus, presiden harus menjadi mandataris MPR. Pada tahap inilah mencuat isu pemilihan presiden kembali oleh MPR. Ada pula gagasan lain, yakni presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tiga kali empat tahun. Ada yang juga tiga kali lima tahun, atau sekali masa jabatan untuk 8 tahun dan ide-ide lainnya.
Wacana amendemen melebar dan makin liar. Presiden Jokowi merasa tak nyaman. Dengan menyebut dirinya presiden hasil reformasi, ia menyatakan, bahwa pemilihan langsung oleh rakyat harus dikawal dan dipertahankan. Masa jabatan lima tahun sudah cukup. Daripada melebar tidak karuan, Presiden Jokowi menyebut lebih baik wacana amendemen itu tidak usah digelindingkan dulu, dan semua pihak fokus pada urusan ekonomi yang menghadapi ketidakpastian situasi global.
Amendemen konstitusi tentu sebuah tindakan yang normal saja, meskipun tidak berati bisa sederhana. Mengacu pada empat amendemen atas UUD Negara Republik Indonesia 1945 antara tahun 1999-2002, dilakukan dalam momentum ketika elemen-elemen masyarakat umumnya sepakat untuk membangun sistem politik kekuasaan yang lebih demokrasis, sebagai jalan menuju kehidupan bangsa yang lebih adil dan makmur. Konstitusi yang dianggap executive heavy, memberikan kekuasaan besar kepada eksekutif, dibuat lebih berimbang.
Maka, pada Amendemen 1 (Oktober 1999), MPR-RI memutuskan perubahan atas 9 pasal konstitusi di UUD 1945. Antara lain,membatasi masa jabatan presiden dua periode saja. Rumusan yang mengatakan tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”, dan seterusnya.
Pada Amendemen 2 (Agustus 2000), ada sejumlah perubahan lagi. Antara lain, perubahan atas Pasal 18 yang memberi jalan bagi lahirnya UU tentang otonomi daerah. Ada pula perubahan atas pasal 20 UUD 1945 yang membuat kekuasaan DPR RI sangat kuat, seraya menancapkan hak asasi manusia pada pasal 28. Ada pula pengaturan tentang bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan di Pasal 36.
Selanjutnya pada Amendemen 3 (Agustus 2001), yang merombak struktur kekuasaan lembaga-lembaga negara, membuat perubahan yang sangat signifikan. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 berubah. Semula ayat tersebut berbunyi ‘’ Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’’. Ayat itu berubah menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’’. Istilah GBHN di pasal 3 pun menghilang. Tak ada lagi wewenang MPR menyusun GBHN.
Di luar itu ada pula perubahan atas Pasal 6, 7, 8, 11, 17, lalu ada Pasal 22-C dan 22-D yang mengatur soal kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Amendemen terakhir terjadi Agustus 2002. Perubahan terjadi pada 8 Bab, Aturan Peralihan serta Aturan Tambahan. Yang paling pokok dalam amendemen itu adalah bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A Ayat 1). Secara resmi, keanggotaan MPR disebut anggota DPR ditambah DPD yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sejak itulah kehidupan demokrasi Indonesia meniti jalan baru dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada padanya. Empat kali pemilihan umum legislatif dan pilpres berlangsung dengan aman, lancar, dan relatif damai. Namun, ada komplikasi baru, yakni DPR dianggap terlalu kuat, DPD kurang berperan, dan pemilu langsung diwarnai politik uang.
Bandul seolah bergerak ke arah yang sebaliknya, yakni muncul lagi gagasan lama menjadikan eksekutif lebih kuat. Amendemen pun didesakkan, termasuk dengan menumpang arus ide haluan negara. Mengacu ke amendemen pertama hingga keempat, amendemen sepertinya memerlukan persyarakat tidak tertulis, yakni memerlukan momentum ketika sebagian besar elemen masyarakat telah terkonsolidasi untuk memperjuangkan ide-ide yang sama.
Tanpa kondisi itu, seperti kata Presiden Jokowi, lebih baik nggak usah amendemen.